February 14, 2022

Prau 2565 1/2


Hallo.

Selamat pagi menjelang siang. Ditulis dalam keadaan isolasi mandiri, terhitung sudah hari ke-enam dan sudah bingung mau apa. Sesungguhnya TBR—to be read saya banyak, tapi kehilangan selera setelah menyelesaikan Pride & Prejudice karya Jane Austen yang kemudian dilanjut dengan menonton filmnya. Ya sudah, saya ke sini aja lumayan bersihin sarang laba-laba.

 

Jumat, 24 September 2021.

Untuk pertama kalinya saya akan naik gunung. Tentu susah sekali dapat izin dari orang tua, karena, ya anak rumahan gini jauh-jauh baru ke Jogja, itu juga ya di situ-situ aja. Akhirnya, setelah tiga kali izin dan kali keempat hampir mau kasih nomor telepon teman, itupun dia sendiri yang mengajukan diri karena dia yang maksa saya ikut. Sok kepaksa, padahal pengen juga.

Ya semua orang tau lah ya naik gunung bukan perkara mudah, bukan juga bisa dimudahkan—digampangkan. Modalnya banyak banget mulai dari niat, nyali, izin, kondisi badan, sampai bawaannya hahahha.

 

Perjalanan dimulai dari terminal bus Citeureup Jagorawi, kami menggunakan moda transportasi bus menuju Wonosobo, terminal Mendolo. Harga tiket bus Rp135.000 tanpa makan, keberangkatan kurang lebih jam 6 sore. Bus sempat istirahat satu kali di rest area yang kebetulan sayang sekali saya lupa itu dimana. Kemudian, pagi harinya kami diberikan sepiring serabi, masih ngepul asapnya oleh bapak kondektur bus. 

 

Sabtu, 25 September 2021.

Sekitar pukul 8 pagi kami sampai di terminal Mendolo—sebetulnya di seberangnya karena bus ini ternyata tidak masuk ke dalam terminalnya. Seperti biasa, kami pun dirubung bapak-bapak yang menawarkan tumpangan untuk ke Dieng.

 

Setelah mandi dan sarapan, kami menaiki bus 3/4—kalau di Jakarta, seukuran miniarta, kalau di Kulonprogo mirip-mirip bus Kokap, Menoreh, tapi di sini disebutnya Elf. Perjalanan kurang lebih ditempuh selama satu jam, jalurnya, mantap. Mobil yang kami naiki entah memang sudah tua, atau karena faktor medan yang cukup sulit sehingga kadang menderu keras. Menderu, apalah ya, menggerung gitu. Berhubung saya duduk di depan, saya deg-degan sendiri lihat bapak supirnya sampai setengah duduk nyetirnya.

Untuk biaya transportasi ini, satu orang dikenakan Rp20.000-Rp25.000, tergantung keahlian dan keberuntungan kalian, guys.

 

Karena kami mau naik lewat jalur Dieng, jadi kami diturunkan di ya Dieng, apa sih. Di tempat yang ada tulisan D I E N G itu lho, yang banyak orang sering foto di sana. Ada beberapa jalur untuk menuju Gunung Prau, di antaranya:

1.      Dieng

2.      Patak banteng

3.      Kalilembu

4.      Wates

5.      Dwarawati

 

Perjalanan menuju basecamp melewati rumah-rumah penduduk, menyisir kebun kentang warga, sampai melewati warga yang sedang mengangkut kentang. Kawasan Dieng memang penghasil sayuran dataran tinggi, komoditas utama dari tempat ini yaitu kentang, wortel, kubis, bawang-bawangan, dan carica—oh ini bukan sayuran ya ini buah hehe.

 


Kami sampai di basecamp pukul 11.30, ternyata sudah ramai sekali. Untuk simaksi (surat izin masuk kawasan) per orang dikenakan Rp25.000. Sembari menunggu waktu dzuhur, beberapa dari kami turun ke pasar untuk membeli beberapa bahan makan. 

Cuaca panas tapi hawa dingin. Pengujung kala itu ramai, mulai dari rombongan tracking, sampai rombongan hiking yang open-trip pun banyak sekali. Di depan kami, terhitung kurang lebih 30 orang dari Jakarta sedang melakukan doa bersama sebelum memulai perjalanan.

Sebagai anak bawang, saya terenyuh saat kami melakukan doa dan tos.

“Tujuan utama kita bukan puncak, tetapi kembali ke rumah dalam keadaan sehat.” Terharu banget, aku gabisa digiinin, hiks. 

 

Rombongan kami berjumlah 9 orang, di antaranya, hanya saya yang baru ini naik gunung. Sehingga, saya memilih untuk jalan di depan karena khawatir kalau di belakang malah jadi lama. Dari basecamp sampai tulisan selamat datang aja jauh guys, saya udah lupa berapa jarak dan waktu tempuhnya, tapi yang jelas kurang lebih 45 menit.

“Mumpung masih di gapura welcome nih, putusin buruan kita mau lanjut atau balik.”

“Saran sih, balik aja. Tuh kita nginep di hotel aja, ke sininya tektok aja hayuk.”

 

Setelah melanjutkan perjalanan, kami tiba di Pos 1. Prau jalur Dieng terdapat 3 Pos. Kami melanjutkan perjalanan dan beristirahat di Pos 2, pukul 2 siang. Ada rombongan dari Jakarta di sebelah kami. Karena sudah lumayan dingin, beberapa dari kami menyeduh kopi dan teh manis. By the way, kalau beruntung, di Pos 2 ini beberapa provider masih dapat sinyal sehingga waktu itu saya masih sempat tukar kabar dengan keluarga dan teman. Setelah cek foto di hp, lho lama juga ternyata di Pos 2 ini kami kurang lebih hampir satu jam hahahaha.

 

“Semangat yaa Mba, Mas.”

“Puncak 5 menit lagi! Yuk yuk!”

 

Seru banget ya di gunung tuh, gak kenal juga saling semangatin.

“Yak rombongan mana ini, ayo yel-yelnya dulu.”

 

Wah kangen banget, ngetiknya sambil cengengesan. 

 

Ada medan yang ditumbuhi banyak akar pohon, nama medannya akar cinta, tapi saya lupa ini ada di Pos 2 menuju Pos 3 atau bukan. Sesuai namanya, selain berundak, jalur ini juga berakar. Kami sampai di Pos 3, ternyata sudah banyak rombongan yang beristirahat di sana. Pukul 15.30, kabut semakin tebal, degup jantung semakin cepat, napas satu-dua.

Baru melangkah sedikit, kami terpaksa mundur lagi karena hujan tiba-tiba turun. Perjalanan tentunya semakin menantang karena ternyata semakin ke atas, jalur kembali menyempit dan licin karena hujan. Selain itu, dingin.

 

Kami sampai di puncak, yang ditandai dengan papan kayu bertuliskan selamat datang. Tetapi hujan belum menunjukkan tanda-tanda reda, sehingga kami memutuskan untuk berteduh di bawah pohon di puncak. Hanya ada satu pohon di tengah jalur sebelum mendekat ke papan, iya, di bawah pohon itu kami bersebelas menunggu hujan reda. Membuka flysheet karena jas hujan tak cukup melindungi. Tangan kami sudah hampir putih.

Ini yang saya takutkan.

Hipotermia. 

 

 

 

 

1

 

Prau 2565 1/2

Hallo. Selamat pagi menjelang siang. Ditulis dalam keadaan isolasi mandiri, terhitung sudah hari ke-enam dan sudah bingung mau apa. Sesung...