June 05, 2021

How To Get To--


Your heart?

To gudang Tajem, kok, tenang.

 

Sesungguhnya postingan yang ini ditujukan kepada diri sendiri, tapi semoga berguna untuk yang lain juga kalau ada yang mau ke sini.

 

Gudang Gramedia Tajem.

 

Aku kepada seseorang, “Gramedia Tajem sebelah mana, sih?”

“Emang ada gramedia di Tajem?”

“Gudang,”

 

Sebagai pencari dan (masih) pembaca buku, ada diskon cuci gudang tuh sungguh menggetarkan hati dan isi dompet. Meskipun bukunya kebanyakan yang sudah lawas, tapi, ya barangkali ada sebongkah berlian di antara tumpukan tanah.

 

Februari lalu, gudang ini buka juga, periode sampai akhir Maret. Saya sempat menjejaki Kota Gudeg itu, tapi badan dan pikiran nggak sanggup diajak jalan ke sana. Padahal sudah masuk itinerary, yowes.

 

Lalu awal April sampai 31 Mei buka lagi, Alhamdulillah akhirnya dengan penuh nekat dan rasa ingin tahu yang tinggi, saya datengin juga itu gudang.

 

Perjalanan dimulai dari Transjogja 2B, rute dari Ngabean menuju Terminal Condong Catur. Lumayan lama untuk menunggu kedatangannya, kurang lebih 15-20 menit karena tempuhan jarak yang paling panjang di antara yang lain.

 

Saya turun di Terminal Condong Catur, mengikuti petunjuk Transjogja. Ternyata, setelah re-check ke Google Maps, saya bisa turun di TPB SMK Tajem RRU. Alias, masih empat halte lagi. Ya udah lah ya, namanya juga emang niat nyasar-nyasaran.

Dari Terminal Condong Catur, saya keluar cari supermarket. Tapi tutup, jadinya saya pesan ojek online.

“Mau lewat mana Mbak?”

He, “Manut Bapak aja,”

Gak punya pendirian.

 

Wah jauh juga ternyata. Maklum lah, bukan akamsi, nol banget juga meskipun berapa kali ke sini. Lewat RRU juga kalau ada mau berkunjung ke Magelang, Sleman, Seturan, atau jemput siapa Adi Sucipto.

 

“Mbak, ini yang mana ya?”

“Waduh, deket KUA pak.”

“Sebelah mana ya,”

“Itu pak gerbang putih,”

 

08.57, Ya Allah masih lama ke 09.30

 

Tempatnya memang tidak sebesar Gramedia pada umumnya, tetapi ada banner biru yang tergantung di depannya. Pagar putih, ada bangunan seperti rumah di dalamnya, kemudian kalau lebih masuk lagi baru terlihat gudangnya.

 

Jam buka 09.30 – 16.00 (Selasa – Minggu)

Jangan sampai kecelik kayak saya ya, sudah dandan rapi wangi di hari Senin, lalu cek hp baru inget kalau Senin tutup.

 

Jangan lupa tetap patuhi protokol kesehatan ya.

 

Ini mau nulis apa sebenernya.

 

Jadi, untuk menempuh ke sini bisa naik:

-          Transjogja rute 2B, turun di TPB SMK Tajem RRU nanti tinggal jalan, tapi lumayan sih 1.4 km. Gempor. Banyak ojek online kok tenang saja.

-          Transjogja rute 2B, turun di Terminal Condong Catur, naik ojek online. Nah, yang ini jangan ditiru ya, karena ini rute saya kemarin xixixi. Sesat, gak apa jadi sejarah buat diri sendiri.

-          Transjogja rute 2B, turun di Terminal Condong Catur, pindah ke Teman Bus K1/13 rute Pakem-Condong Catur tujuan Terminal Pakem, turun di YAKKUM, nyebrang, naik Teman Bus k3/14 rute Pakem – Bandara Adisucipto. Atau kalau mau sampe pul-nya di Terminal Pakem ya ndak apa. Nanti turunnya seberang KUA Depok—ada Bank BRI (aduh atau BPD ya), maaf ya nggak valid nih. Lalu tinggal nyebrang deh.

Lalu begitu juga untuk arah pulang.

Bisa naik K3/14 lalu turun di Bandara, nanti naik Transjogja ke arah kamu pulang. Aku sih pulangnya ke kamu, kalo boleh.  

Postingan berlaku bagi yang tidak membawa kendaraan.

 

Oh ya, by the way mungkin ada yang belum tau Teman Bus. Saya juga baru tau sih pas ke sini.

Saya pikir dia bagian dari Transjogja, tapi kok saya cari di aplikasi Transjogja, gak ada.

Ndak tahunya, beda.

 

“Itu lho Mba, Teman Bus. Beda, kami bukan Transjogja, ada kok aplikasinya. Yang ada di empat daerah itu lho Mba, Bali, Medan, Jogja, Solo.”

Topi bapak supirnya lucu deh, kayak topi rimba x topi koboy gitu.

“Oh gitu, pantes saya cari di Transjogja kok nggak ada. Beda, ya. Ini ngetapnya dimana Pak?”

“Ini Mba, tapi masih Rp.0 sih,”

“Eh? Gimana pak?”

“Iya, masih gratis Mba.”

“Baru ya Pak?”

“Enggak sih, Mba. Udah lama, tapi dari September tahun lalu Rp.0, terus diperpanjang sampe sekarang.”

“Hoola begitu, gratis kan ya Pak. Ehe”

“Nggih, Mba. Kok deket to turun di KUA Depok?”

“Iya Pak, mau daftar pernikahan nih, nyuwun do’anya Pak.”

“Iya Pak, mau ke gudang gramedia tapi tadi masih tutup jadi saya cari minum dulu,”

 

Untuk Teman Bus ada aplikasinya juga sebetulnya, tetapi entah waktu itu saya mau langsung download tetapi tidak ada. Tapi semoga aplikasinya cepat selesai lagi kalau memang sebelumnya ada masalah.

 

Sekian pusing-pusingnya hari ini, gudang gramedia buka lagi mulai hari ini sampai 30 Juni. 

Hm sayang sekali Juni ini tidak bisa minggat.

April 12, 2021

Short Escape #Jog


“If you lost someone you love, remember the good times.

If you have someone’s who’s unwell, take care of them and make sure you do your best, the rest is upto God.

If all of you are fine, then appreciate each other more.

 

Time heals everything and everyone,”

 

---

Akhir dari minggat ini mengisahkan kesedihan. Saya pulang diantar ke Terminal Wates oleh keluarga kecil Mas saya, yang berarti ada istri dan kedua anaknya.

 

“Sebaik apapun caramu berpamitan, perpisahan akan tetap menyakitkan.”

Juga kata The Script, “Where’s the good in goodbye?”

 

Lebay, ya. Padahal cuma ke Jakarta, numpang di Jogja juga gak lama. Tapi jadi inget dua keponakan saya yang sempat nangis waktu ninggalin rumah Jogja pas pulang Desember lalu. Hm, umur mereka baru 7 dan 3 tahun waktu itu.

 

Saya duduk di kursi nomor dua, karena biasanya kursi paling depan bus itu spacenya lebih luas. Kebetulan partner duduk untuk satu malam itu, seorang ibu—yang sedang sibuk bertelepon ria.

 

Setengah jam kemudian, bus berangkat. Ibu di sampingku memutuskan sambungan teleponnya, yang, saya bisa tebak dari siapa. Kami mengobrol sedikit tentang asal, tempat tinggal, serta tujuan berhenti. Kemudian saya terlelap.

 

Tetapi lalu terbangun saat lagu Tanpa Batas Waktu original soundtrack sinetron yang masih naik daun hingga kini, mengalun dari speaker bus.  Ibu di samping saya bernyanyi ria, suaranya tidak buruk, dan untungnya cukup percaya diri.

 

Kami mulai mengobrol lagi, kali ini tentang alasan kepulangannya ke tanah kelahiran. Beliau tinggal di sebuah desa dekat Glagah—ya yang dekat bandar udara baru itu lho.

“Saya nganterin bapak saya, kasihan dia di kampung sendirian. Ya saudara sih ada, cuma kan ya gak melulu ngurusin bapak saya. Daripada saya merepotkan juga, mending saya bawa ke Jakarta. Ikut sama saya,”

 

Ibunya berpulang pada Juni tahun lalu. Dimana covid-19 sedang tinggi-tingginya. Membutuhkan perawatan intensif di RSUD Wates, sampai kemudian harus dipindah ke RSUP Sardjito demi mendapatkan perawatan dan peralatan yang lebih lengkap.

 

Dari ketiga bersaudara, hanya ibu di samping saya ini yang jumpalitan bolak-balik Jakarta-Jogja. Dua saudaranya tinggal di Surabaya dan berprofesi sebagai angkatan—yang mana tidak selalu mudah untuk mendapatkan izin.

 

“Jadi mau harga bus waktu itu sampai harga berapapun, saya tetap pulang Mba. Bagusnya setiap bulan di kantor saya ada swab, jadi ya tidak keluar banyak biaya. Kan lumayan kalau harga di luar, ya, Mba.”

Mengingat harga tiket bus yang menyentuh Rp500.000 dan harga untuk swab saat itu masih sekitar 1 juta.

 

Lumayan ada yang mengganjal di tenggorokan.

 

“Tapi ya gimana, Mba. Saya udah bolak-balik terus, hubungi dokter meskipun saya gak di tempat, saya juga udah minta dokter buat lakuin yang terbaik, tapi mungkin udah jalannya Ibu.”

 

Kamera tolong kamera.

 

Sejak kepergian istrinya, sang suami sering melamun. Kalau dulu sering mengurus sawah, tetapi karena sudah teramat sepuh, akhirnya diminta anaknya untuk di rumah saja.

“Saya bawa ke Jakarta Mba, karena ya begitu bapak. Ngelamun aja di rumah, sendirian juga. Kayak nggak ada semangat hidup. Ya gimana namanya ditinggal istrinya,”

 

HWEEEE.

Langsung teringat emak bapak di rumah, yang juga mulai memasuki usia senja.

Dengan semua pikiran-pikiran kecil setiap kali mengantar mereka ke rumah sakit, atau menggantikan antri obat hingga larut jam 12 malam, kadang mau menyalahi takdir atau mau marahin diri sendiri sambil menyesal “Sometimes I wish I could treat you both better.”

 

Tidak melulu sedih, jam sebelas malam kami terdampar di macetnya Brebes, beliau bercerita tentang kedua anaknya. Anak pertama, sedang dirumahkan karena pengurangan karyawan di kantornya, sedangkan yang kedua, polisi—satu tahun lebih tua di atas saya, lumayan nih, tapi ternyata sudah punya kekasih hati. Jarang pulang karena jabatannya sebagai waduw saya lupa, mirip-mirip yang suka mata-mata dan grebek-grebek gitu. Tapi Ibunya bukan bilang sebagai intel, entah, lupa.

 

“Saya setiap Sabtu atau weekend gitu sering saya masakin kesukaan dia, tapi gak kemakan-makan karena pulangnya suka nggak jelas. Sampe Mas-nya bosen karena tiap akhir minggu saya masak itu terus.”

 

Jadi inget jaman ngekos dulu, “Kamu pulang kapan? Mama masak cumi,”

Tetep ada bumbu sedihnya, meski gak seberapa. Maaf nih, melankolis banget.

 

Tapi aslinya sih ya enggak, karena ada cerita yang tidak diceritakan.

Gelap banget, banget, soalnya saya sambil tidur. Meski kadang tidur ayam juga, tapi sambil mikir ternyata yang banyak orang-orang perbincangkan, bisa nyata juga dan bisa saya dengar sendiri. Lalu, semua cerita saya di atas tadi yang mematahkan hal ini.

 

Ndak usah ditebak, yee siapa juga yang mau nebak.

 

 

Esok harinya di kantor, biasanya office girl bagian lab kami sudah menyapu. Saya panggil teteh, karena beliau sempat keberatan kalau dipanggil Ibu. Hihi. Satu minggu lalu, ia tidak masuk. Sama, ibunya kembali pada Sang Pemilik.

 

Biasanya, saya menjadi orang pertama yang akan buka pintu lab.

Biasanya pula, begitu pintu terbuka, saya akan menaruh botol minum di meja pantry lalu beliau dengan senyumnya meski terhalang masker, dengan sukacita dan suara penuh nada riang menyambut saya dengan “Pagi Neng,”

 

Pagi itu, ia hanya menoleh begitu mendengar saya membuka meja pantry. Mengangguk sebentar lalu kembali menyapu.

 

Kamu bukan kamu yang dulu.

 

Setengah jam berlalu, bel berbunyi. Saya kembali masuk ke lab, sedangkan Teteh menyapu ruang instrumen. Mengucapkan belasungkawa dengan suara bergetar, begitu juga dengan beliau yang lalu memeluk kuat gagang pel lantai. Mau peluk, tapi 180o dari tempat kami berdiri, ada manajer saya di ruangannya.

 

Masih saya ingat beberapa jajanan dan parfum yang dititipkan lewat saya. Juga cerita beliau pulang ke Bekasi untuk merawat Ibunya. Kebetulan waktu itu beliau tinggal di Bogor. Nah, kalau ke Bekasi, kan, jauh. Belum lagi Teteh masuk kerjanya jam tujuh. Engap bayangin Bekasi-Bogor kejar pakai commuter line.

 

Ya, begitulah.

“I think the hardest part of losing someone, isn’t having to say goodbye, but rather learning to live without them.”

Indeed we belong to Allah, and indeed to Him we will return.

 

Terakhir,

Jaga dia yang saat ini bersamamu. Karena akan ada masanya untuk saling meninggalkan dan ditinggalkan.

 

Da ah, pegel.

Prau 2565 1/2

Hallo. Selamat pagi menjelang siang. Ditulis dalam keadaan isolasi mandiri, terhitung sudah hari ke-enam dan sudah bingung mau apa. Sesung...