Sebelumnya, mumpung belum jauh dari
suasana hari raya, saya mau mengucapkan selamat hari raya idul fitri 1440 H.
Semoga amal ibadah dan puasa kita diterima oleh Allah serta kita masih dapat
bertemu di Ramadhan selanjutnya. Aamiin.
Seumur-umur, saya belum pernah pergi
sendiri kalau keliling Jogja. Cuma duduk anteng dianter abang, nengok
kanan-kiri bacain nama jalan tapi nggak hafal juga sampai sekarang, tau-tau
nanti sampai di tujuan. Jadi, di libur lebaran kali ini saya akhirnya keluar
dari zona nyaman dan aman.
07.00 waktu Indonesia bagian Ngampilan.
Saya berbalik arah menuju Parkir
Ngabean dan sesuai arahan dari ipar saya, “parkir Ngabean nanti lurus, ketemu
plengkung nanti ambil kiri. Udah, itu udah masuk daerah Ngasem.” Berbekal motor
bebek dan nyali yang kadang mengangkasa kemudian menciut, saya pelan-pelan
mengikuti rambu-rambu lalu lintas.
Belok kiri jalan terus.
Lurus jalan terus.
Belok kiri ikuti lampu APILL.
Berhenti di belakang garis putih saat
lampu merah.
Saya berhenti untuk sarapan sate ayam
di depan pusat oleh-oleh bakpia 25 di Ngasem. Lima belas ribu rupiah dengan
lontong, saya makan lama sekali sambil mengamati bapak-bapak pembecak yang
silih berganti dari tempat perbelanjaan di seberang saya. Ternyata, semakin
siang maka semakin padat pula becak-becak dan andong yang mengantar dan
menjemput.
Tamansari menjadi objek wisata pertama
yang saya usulkan karena ternyata dekat sekali dengan titik temu kami. Tiket
masuknya lima ribu rupiah untuk pengunjung domestik. “Jangan sampai hilang
tiketnya,” ujar Bapak pemeriksa tiket di pintu masuk. Ternyata tiketnya dapat
digunakan kembali pada hari yang sama.
Tidak ada Jogja yang sepi di masa
liburan seperti ini, kecuali rumah nenek saya. Kami berbondong-bondong menyusuri
bangunan yang dulunya adalah kolam pemandian bagi Sultan dan keluarganya. Adapun
fungsi Tamansari yaitu sebagai tempat pertahanan dan perlindungan, tempat
religius (beribadah), dan tempat rekreasi.
Gedong Gapura Panggung, merupakan pintu
masuk ke situs Tamansari. Di kanan kirinya ada tangga berukir naga yang nanti
di atas kita dapat melihat rumah-rumah penduduk di sekitar situs, juga Pulo
Kenanga.
Kemudian, tiga kolam—Pasiraman Umbul
Binangun yang alhamdulillah saat itu ada airnya. Umbul Kawitan (untuk
putra-putri raja), Umbul Pamuncar (untuk para selir), dan Umbul Panguras (untuk
Raja). Sebenarnya Tamansari mau di sudut manapun bagus sekali untuk dijadikan
spot foto, hanya saja tidak memungkinkan karena banyaknya pengunjung dan saya
tidak cukup sabar untuk menunggu sepi. Bangunan selanjutnya yaitu Gedong Gapura
Hageng. Di depan bangunan ini yang biasanaya ramai jadi tempat foto.
Pintu keluar di sebelah kiri.
Kami bahkan perlu dua kali melewati
pintu keluar, ternyata di sini gunanya si tiket yang tidak boleh hilang itu.
Berbekal pamflet Tamansari yang kami minta dari Ibu pemeriksa tiket dengan
pesan, “Dibaca ya, kalau nggak dibaca nanti tidak tahu mau kemana,” Sebenarnya
seru ini kalau pakai guide, biar
sekalian paham sejarahnya. Guidenya
banyak kok, tetapi untuk tarifnya, mohon maaf saya kurang tahu. Banyak bangunan
dan nama-namanya yang terlewat oleh kami, karena yang kami cari saat itu Sumur
Gumuling.
Kampung Cyber, beberapa tahun lalu sempat muncul dalam televisi. Kampung
ini mengelilingi Tamansari, baik berupa rumah-rumah atau toko yang menjajakan
topeng, baju lukis, kerajinan tangan, sampai makanan minuman dan tongsis.
Sebenarnya di depan sebelum Gapura Panggung ada denah situs Tamansari, tetapi
sudah pudar dan kurang jelas. Kemudian di depan salah satu distro (yah anggap
saja begitu) yang sempat kami kunjungi, ada denah besar yang lebih baru dan
jelas menunjukan situs Tamansari.
Berbekal ke-sotoy-an yang hakiki, kami
jalan terus, kalau buntu ya putar balik. Sempat juga ke Gedong Carik yang
ternyata buntu. Bangunan yang kami kira Sumur Gumuling (spot foto paling
mainstream kalau di Tamansari) tapi ternyata salah, Pulo Kenanga. Merupakan
bangunan tertinggi yang juga mampu dilihat dari Gapura Panggung. Sering
dijadikan tempat untuk pre-wedding. Tiap
dua sisinya ada tangga, tapi aksesnya ditutup karena penyangganya hanya
beberapa batang besi.
“Masa iya nggak ketemu sih, Dew?”
Akhirnya kami lelah untuk sotoy, kata
Mba-mba yang jual minuman, “Perempatan nanti kanan,” lalu kami lewat lagi di
denah yang di depan distro.
“Nih kita dari arah mana sih?”
“Atas,”
“Berarti perempatan kiri dong?”
Apaan sih ini manusia dua.
Akhirnya ketemu dong, ternyata kami
sudah lewat jalan itu tapi kurang ngeh kalau ada plangnya. Cocok banget Tamansari
nih buat cari harta karun. Belajarnya dapet, gempornya dapet, terima kasih
Jogja, kemaren aku mandi keringet.
Sumur Gumuling ini dulu masjid bawah
tanah, menuruni terowongan biasanya kita dikasih pinjam senter atau disuruh
menyalakan flash karena gelap dan
takut kalau masuk ke lubang (padahal sih parit gitu, nggak gede sih). Kalau ada
counternya, ini paling ramai kayaknya
di sini sama di Gapura Hageng. Di Sumur Gumuling sebagai pencarian terakhir,
dan Gapura Hageng ramai karena mikir dulu ini nyasar atau emang cuma segini?
Menarik, ternyata bukan hanya tentang
kolam pemandian. Ipar saya bilang, ada pintu rahasia yang menuju ke Keraton
atau mana-lah gitu.
“Travel opens your heart, broadens your mind
and fills your life with stories to tell.” – Paula Bendfeldt
“Take every chance you get in life, because
somethings only happen once.”
– Karen Gibbs.
No comments:
Post a Comment