Dini hari, tepatnya pukul empat pagi
sampai di Stasiun Solo Jebres. Setelah semalam duduk di kereta sampai leher
fegal-fegal. Maklum, lah, biasanya ke Jogja cuma delapan jam, sekarang nyobain
sepuluh jam. Duduk di gerbong belakang, markas besar para pendaki gunung. Rak
aja gak cukup nampung carrier-carrier mereka yang rata-rata 80 liter. Hobi
mereka itu, di bordes. Nyanyi-nyanyi, bercanda. Saya yang duduk di kursi
belakang persis menghadap mereka, kan malu jadinya. Ya padahal mereka nggak
ngapa-ngapain, sih.
Stasiun Solo Jebres bisa dibilang
kecil sih. Sok banget! Padahal juga masih luas ini daripada Wates. Tapi kan
Wates belakangnya langsung Alun-alun Wates. Karena buta banget nih, Bos, sama
Solo, yaudah akhirnya naik taksi online saja dan dengan kurang ajarnya minta
tolong diarahkan ke tempat yang jual makanan. Please lah, Solo pagi buta sepi banget. Bisa guling-guling di
jalan! Mirip jalanan depan Stasiun Semarang Tawang tengah malem gitu sepinya.
Akhirnya kami turun di Pasar Gede,
makan di angkringan gerobak. Masih sangat pagi, Bung, kurang penerangan, dan
nasi payu. Apaan tuh nasi payu? Yaudah akhirnya saya pesan nasi pakai lauk
gudeg. Kurang bisa disebut gudeg karena nangkanya warnanya kuning, Bos, bukan
cokelat, juga nggak manis. Tapi yowes,
aku wis ngelih tenan. Murah parah sepiring cuma enam ribu (salah nggak ya
tapi bener deh kayaknya), padahal nasinya seabreg, nangkanya juga setengah
piring.
Adzan berkumandang dan terima kasih
teknologi dan telingaku yang akhirnya bisa membuntuti arah suara dengan baik
dan benar, kami sholat di masjid yang ada di dalam pasar. Ini semua udah
dicatet di handphone, cuma karena
waktu itu sempat pindah handphone, dan
keformat semua-muanya, hilang sudah catatan hamba.
Menyusuri pagi di Solo, jalan kaki,
belajar jadi backpacker ceritanya. Kami
caw ke Stasiun Solo Balapan untuk cari tiket Solo Express besok pagi ke Jogja.
Orang tua saya masuk ke stasiun, saya ngejogrog di parkiran dengan keyakinan
satu-dua orang porter atau tukang becak atau juga tukang taksi nawarin
nganterin saya. Benar saja kemudian seorang bapak menghampiri saya.
B “Mau
kemana Mba, ayo saya antar cari hotel atau penginapan.”
D
“Enggak Pak, saya lagi nunggu bapak ibu saya di dalam.”
Singkat
cerita, beliau yang tadinya berdiri di depan saya sekarang duduk di samping
saya. Sweet nggak nih? Saya tanya macam-macam. Mulai dari Solo tuh
seperti apa, wisatanya apa saja, kok sepertinya hotel di sini jarang, sampai
gunung apa yang ramai dikunjungi di sini.
Sampai
saya terenyuh waktu beliau cerita kalau sempat tinggal di Jakarta, lupa saya
tahun berapa. Saya belum lahir yang jelas. Beliau bilang, waktu bioskop pertama
kali ada di Jakarta. Beliau jadi supir bemo waktu itu, bemo atau trem ya, duh
maafkeun ya. Tapi akhirnya kembali lagi ke Solo tercinta, atas satu-dua hal
umum yang sudah bisa kita pahami.
Kami
diantar ke hotel oleh beliau dan seorang temannya, naik becak. Sumpah, ternyata
seseksi itu ya betis tukang becak, baru ngeh!
Saya
kabari teman saya yang kuliah di Solo, padahal libur dan tentunya dia lagi di
Jakarta.
D “Unta,
iya bener Solo gak ada apa-apanya,”
U “Nah
kan, udah gue bilangin.”
D “Ya
gimanaa dong,”
U “Udah
ke Karanganyar aja sana,”
Di
hari Jum’at itu, akhirnya kami ke Keraton. Agak sedih begitu tau kalau keraton
tutup di hari Jum’at. Yaudah, aku nggak apa-apa. Aku wes biasa. Selanjutnya kami ke Pasar Klewer. Karena jaraknya
dekat (DEKAT? Anggap saja begitu padahal mah hampir semaput karena salah baca
peta) kami jalan kaki, menyusuri tembok besar Baluwarti. Ini sangat Solo.
Tembok tebal dan tinggi, putih, dan haduh-haduh-haduuh ini susah banget
ditembus kayaknya. Jalanan di dalam Baluwarti itu namanya jalan supit urang.
Dimana supit artinya jebakan atau jepit, dan urang artinya udang. YHA ceritanya
dulu masa penjajahan, tempat itu kayak jebakannya gitu. Kamu mau keluar
kemanaa, hah? Ndak bisa kamu keluar
dari sini. Mau manjat, wong tinggi
segitu. Mau lari sampai capek? Boleh tapi sampai pintu keluar ya, eh di pintu
keluar ada gerbang penutupnya. Yowes, cah.
Angkat tangan wae.
Di
Pasar Klewer ya mencuci dompet. Jalanan di sekitar sini mirip jalan ABC di
Bandung. Lalu siang harinya Ayah saya sholat di Masjid Ageng Keraton Surakarta.
Adem banget-banget-banget parah di dalam. Ke kamar mandinya nggak khawatir
karena ada banyak, soalnya kan ada pesantrennya juga. Masjidnya juga dipisah untuk
laki-laki dan perempuan.
Kami
mampir di pasar cinderamata, ada yang jual buku juga mirip di Taman Pintar Bookstore, ya meskipun nggak banyak.
D “Pak
saya cari novel,”
B “Iya,
silahkan Mba. Cari novel apa?”
D
*lihat buku Tere Liye yang Pulang* “Pak, ini kan yang Pulang ada, Perginya ada
enggak?”
I “Ah
becanda kamu,”
B “Pergi
ya Mba, coba sebentar saya cari,”
D
*nyengir-nyengir*
B “Enggak
ada Mba yang Pergi, Pulang aja adanya,”
D “Yah,
yaudah Pak, saya sudah ada soalnya yang Pulang. Tinggal Pergi,”
Pagi-pagi kami sudah check out dari hotel dan langsung ke
Stasiun Solo Balapan untuk mengantar ayah saya ke Jogja, Perjalanan dengan Solo
Express dengan biaya 40.000,- Selanjutnya kami pesan taksi online untuk
kembali ke Pusat Grosir Solo. Waktu itu dapet drivernya yang fresh
graduated dari UNS, lumayan
banyak tanya, terutama becak di sini belum ada yang pakai motor ya? Gaes,
karena di Jogja sudah ada yang namanya bentor, alias becak montor (motor). Nah
sepengamatanku di Solo ini, becaknya rata-rata masih dikayuh. Ternyata
jawabannya memang belum ada pakai mesin untuk becak di Solo. Oh ya, Solo ini
banyaak sekali jalan forbiddennya.
Jarak yang dekat pun jadi jauh karena harus muter dulu. Aselik, saya (hampir)
dua hari di sini masih pusing juga sama jalanan.
PGS ini mirip sama PGC, yaiyalah, cuma beda huruf belakang doang ah gimana sih. Misuh sendiri. Gempor aku
muter sana-sini karena cari baju-baju yang aneh. Setelah pusing muter sana-sini dan juga kelaparan, kami keluar dan langsung
makan ayam kremes di taman kuliner di sebrang sepanjang PGS dan BTC.
Oya di samping PGS itu ada BTC, sama
kayaknya isinya. Tapi saya cukup ngeliatin dari luar aja, dengkul udah mau
copot rasanya.
Cita-cita
saya ke Solo dan naik kereta Batara Kresna gagal. Ya untungnya sempat
lihat dia lewat di depan saya waktu nunggu taksi online untuk ke Stasiun Solo
Jebres. Jangan heran, di sini emang ada jalur kereta yang lewat di jalan raya.
Jadi kalian harus selalu pasang kuping dan hati-hati sama rambu-rambu lalu
lintas di sini. Seneng banget, iya, karena norak. Dimana-mana biasanya liat
kereta ya jalan di rel kereta, benar-benar di jalurnya dia, lah yang ini turun
ke jalan raya. Jemputan kami datang, caw ke Stasiun Solo jebres.
Selamat tinggal Solo,
pada
bunga-bunga angsana yang gagal kumiliki di pertengahan tahun,
juga
pada secercah harapan menggebu di dua atau tiga tahun lalu,
juga
untukmu.
Terima
kasih, Solo, atas keramahanmu.