September 10, 2018

Sala


 
            Dini hari, tepatnya pukul empat pagi sampai di Stasiun Solo Jebres. Setelah semalam duduk di kereta sampai leher fegal-fegal. Maklum, lah, biasanya ke Jogja cuma delapan jam, sekarang nyobain sepuluh jam. Duduk di gerbong belakang, markas besar para pendaki gunung. Rak aja gak cukup nampung carrier-carrier mereka yang rata-rata 80 liter. Hobi mereka itu, di bordes. Nyanyi-nyanyi, bercanda. Saya yang duduk di kursi belakang persis menghadap mereka, kan malu jadinya. Ya padahal mereka nggak ngapa-ngapain, sih.

            Stasiun Solo Jebres bisa dibilang kecil sih. Sok banget! Padahal juga masih luas ini daripada Wates. Tapi kan Wates belakangnya langsung Alun-alun Wates. Karena buta banget nih, Bos, sama Solo, yaudah akhirnya naik taksi online saja dan dengan kurang ajarnya minta tolong diarahkan ke tempat yang jual makanan. Please lah, Solo pagi buta sepi banget. Bisa guling-guling di jalan! Mirip jalanan depan Stasiun Semarang Tawang tengah malem gitu sepinya.

            Akhirnya kami turun di Pasar Gede, makan di angkringan gerobak. Masih sangat pagi, Bung, kurang penerangan, dan nasi payu. Apaan tuh nasi payu? Yaudah akhirnya saya pesan nasi pakai lauk gudeg. Kurang bisa disebut gudeg karena nangkanya warnanya kuning, Bos, bukan cokelat, juga nggak manis. Tapi yowes, aku wis ngelih tenan. Murah parah sepiring cuma enam ribu (salah nggak ya tapi bener deh kayaknya), padahal nasinya seabreg, nangkanya juga setengah piring.

            Adzan berkumandang dan terima kasih teknologi dan telingaku yang akhirnya bisa membuntuti arah suara dengan baik dan benar, kami sholat di masjid yang ada di dalam pasar. Ini semua udah dicatet di handphone, cuma karena waktu itu sempat pindah handphone, dan keformat semua-muanya, hilang sudah catatan hamba.

            Menyusuri pagi di Solo, jalan kaki, belajar jadi backpacker ceritanya. Kami caw ke Stasiun Solo Balapan untuk cari tiket Solo Express besok pagi ke Jogja. Orang tua saya masuk ke stasiun, saya ngejogrog di parkiran dengan keyakinan satu-dua orang porter atau tukang becak atau juga tukang taksi nawarin nganterin saya. Benar saja kemudian seorang bapak menghampiri saya. 
B “Mau kemana Mba, ayo saya antar cari hotel atau penginapan.”
D “Enggak Pak, saya lagi nunggu bapak ibu saya di dalam.” 
Singkat cerita, beliau yang tadinya berdiri di depan saya sekarang duduk di samping saya. Sweet nggak nih?  Saya tanya macam-macam. Mulai dari Solo tuh seperti apa, wisatanya apa saja, kok sepertinya hotel di sini jarang, sampai gunung apa yang ramai dikunjungi di sini.

Sampai saya terenyuh waktu beliau cerita kalau sempat tinggal di Jakarta, lupa saya tahun berapa. Saya belum lahir yang jelas. Beliau bilang, waktu bioskop pertama kali ada di Jakarta. Beliau jadi supir bemo waktu itu, bemo atau trem ya, duh maafkeun ya. Tapi akhirnya kembali lagi ke Solo tercinta, atas satu-dua hal umum yang sudah bisa kita pahami. 
Kami diantar ke hotel oleh beliau dan seorang temannya, naik becak. Sumpah, ternyata seseksi itu ya betis tukang becak, baru ngeh!

Saya kabari teman saya yang kuliah di Solo, padahal libur dan tentunya dia lagi di Jakarta.
D “Unta, iya bener Solo gak ada apa-apanya,”
U “Nah kan, udah gue bilangin.”
D “Ya gimanaa dong,”
U “Udah ke Karanganyar aja sana,”

Di hari Jum’at itu, akhirnya kami ke Keraton. Agak sedih begitu tau kalau keraton tutup di hari Jum’at. Yaudah, aku nggak apa-apa. Aku wes biasa. Selanjutnya kami ke Pasar Klewer. Karena jaraknya dekat (DEKAT? Anggap saja begitu padahal mah hampir semaput karena salah baca peta) kami jalan kaki, menyusuri tembok besar Baluwarti. Ini sangat Solo. Tembok tebal dan tinggi, putih, dan haduh-haduh-haduuh ini susah banget ditembus kayaknya. Jalanan di dalam Baluwarti itu namanya jalan supit urang. Dimana supit artinya jebakan atau jepit, dan urang artinya udang. YHA ceritanya dulu masa penjajahan, tempat itu kayak jebakannya gitu. Kamu mau keluar kemanaa, hah? Ndak bisa kamu keluar dari sini. Mau manjat, wong tinggi segitu. Mau lari sampai capek? Boleh tapi sampai pintu keluar ya, eh di pintu keluar ada gerbang penutupnya. Yowes, cah. Angkat tangan wae.
 
Di Pasar Klewer ya mencuci dompet. Jalanan di sekitar sini mirip jalan ABC di Bandung. Lalu siang harinya Ayah saya sholat di Masjid Ageng Keraton Surakarta. Adem banget-banget-banget parah di dalam. Ke kamar mandinya nggak khawatir karena ada banyak, soalnya kan ada pesantrennya juga. Masjidnya juga dipisah untuk laki-laki dan perempuan. 
Kami mampir di pasar cinderamata, ada yang jual buku juga mirip di Taman Pintar Bookstore, ya meskipun nggak banyak.

D “Pak saya cari novel,”
B “Iya, silahkan Mba. Cari novel apa?”
D *lihat buku Tere Liye yang Pulang* “Pak, ini kan yang Pulang ada, Perginya ada enggak?”
I “Ah becanda kamu,”
B “Pergi ya Mba, coba sebentar saya cari,”
D *nyengir-nyengir*
B “Enggak ada Mba yang Pergi, Pulang aja adanya,”
D “Yah, yaudah Pak, saya sudah ada soalnya yang Pulang. Tinggal Pergi,”

            Pagi-pagi kami sudah check out dari hotel dan langsung ke Stasiun Solo Balapan untuk mengantar ayah saya ke Jogja, Perjalanan dengan Solo Express dengan biaya 40.000,-  Selanjutnya kami pesan taksi online untuk kembali ke Pusat Grosir Solo. Waktu itu dapet drivernya yang fresh graduated dari UNS, lumayan banyak tanya, terutama becak di sini belum ada yang pakai motor ya? Gaes, karena di Jogja sudah ada yang namanya bentor, alias becak montor (motor). Nah sepengamatanku di Solo ini, becaknya rata-rata masih dikayuh. Ternyata jawabannya memang belum ada pakai mesin untuk becak di Solo. Oh ya, Solo ini banyaak sekali jalan forbiddennya. Jarak yang dekat pun jadi jauh karena harus muter dulu. Aselik, saya (hampir) dua hari di sini masih pusing juga sama jalanan.

            PGS ini mirip sama PGC, yaiyalah, cuma beda huruf belakang doang ah gimana sih. Misuh sendiri. Gempor aku muter sana-sini karena cari baju-baju yang aneh. Setelah pusing muter sana-sini dan juga kelaparan, kami keluar dan langsung makan ayam kremes di taman kuliner di sebrang sepanjang PGS dan BTC. 
            Oya di samping PGS itu ada BTC, sama kayaknya isinya. Tapi saya cukup ngeliatin dari luar aja, dengkul udah mau copot rasanya.

Cita-cita saya ke Solo dan naik kereta Batara Kresna gagal. Ya untungnya sempat lihat dia lewat di depan saya waktu nunggu taksi online untuk ke Stasiun Solo Jebres. Jangan heran, di sini emang ada jalur kereta yang lewat di jalan raya. Jadi kalian harus selalu pasang kuping dan hati-hati sama rambu-rambu lalu lintas di sini. Seneng banget, iya, karena norak. Dimana-mana biasanya liat kereta ya jalan di rel kereta, benar-benar di jalurnya dia, lah yang ini turun ke jalan raya. Jemputan kami datang, caw ke Stasiun Solo jebres.

Selamat tinggal Solo,
pada bunga-bunga angsana yang gagal kumiliki di pertengahan tahun,
juga pada secercah harapan menggebu di dua atau tiga tahun lalu,

juga untukmu.

Terima kasih, Solo, atas keramahanmu.

September 09, 2018

Dilan 1990 x Dilan 2011

Assalamu’alaikum, jangan?
Assalamu’alaikum!

Kami mengabulkan permintaan seorang teman, yang mana, adalah laki-laki, untuk menonton film yang dibintangi Iqbaal (kami biasa menyebutnya Bale) dan Vanesha. Maka jadilah kami, malam tadi di bioskop tercinta menyaksikan film tersebut.
Saya menulis review ini pagi hari, setelah menontonnya semalam dan berkali-kali tersenyum kalau mengingat dialog mereka. Tapi saya uploadnya baru hari ini, hebaaat bukan?

Saya sempat ‘ngece’ tentang film bahkan sebelum itu, novelnya. Sajak-sajak romantis Pidi Baiq sebelum film ini dibuat sudah mampir di beberapa platform. Banyak sekali yang memperbincangkan baik di ask.fm, twitter, instagram, dan lain-lain. Padahal saya belum pernah baca novelnya, maaf ya, ayah Pidi.

“Jangan rindu, berat. Kamu gak akan kuat, biar aku saja.”

Tapi, keluar dari teater, saya seneng sih nontonnya.

Siapa yang tidak kenal potongan sajak tersebut? Gombalan goceng kalau kata Dilan dan Milea. Film yang cukup membuat saya terperangah begitu empat orang bapak-bapak duduk di dua baris kursi di depan kami. Sha-ik! Bapak-bapak aja nonton lho, bapak-bapak doang gak bawa anak istrinya. Di tengah film ada anak kecil menangis, kirain ringtone ponsel. Tetapi lama-lama sering, oh ternyata ada yang membawa anak kecil. Jadi, bukan hanya kami yang penasaran dengan film tersebut, para orang tua juga. Mungkin mengingat masa-masa indah SMA sama istrinya, ya.

Film fenomenal yang sudah banyak ditunggu-tunggu ini lahir dari sebuah novel yang tidak kalah fenomenalnya hasil coretan tangan Pidi Baiq. Fenomenal kenapa? Kenapa ya, kalau buat saya sih mungkin gara-gara isinya banyak sajak-sajak romantis yang tidak biasa kita temui. Bukan yang kayak, “Bapak kamu tukang bunga ya? Pantesan anaknya cantik kayak bunga,” atau yang “Roses are red, violets are blue. My heart is full of love for you.” Bukan kayak gitu pokoknya.

Dilan, yang saya tidak belum tahu seperti apa dirinya di dalam novel, diperankan oleh Iqbaal Diafakhri. Pemberitahuan bahwa novel Dilan 1990 akan dibuat dalam bentuk film sangat menggemparkan, tetapi tidak sedikit yang kecewa bahwa Dilan diperankan oleh Iqbaal, terutama yang sudah membaca novelnya pasti lebih mengenal dan bisa memvisualisasikan Dilan sebagaimana mestinya.
Sedangkan lawan mainnya, Milea, diperankan oleh Vanesha Prescilla.

Film yang disutradarai oleh Fajar Bustomi ini diawali dengan sosok Milea dewasa yang sedang menceritakan masa SMAnya di laptop. Berlatarkan Bandung, Milea merupakan anak murid pindahan dari Jakarta. Pertemuan pertamanya dengan Dilan adalah saat pagi berangkat ke sekolah, Milea yang berjalan kaki dihampiri oleh Dilan yang mengendarai motor CB100. Dilan meramalkan bahwa nanti mereka akan bertemu di kantin.
Meskipun kenyataannya tidak.

Iqbaal, cowok yang lebih sering dikenal imut di luar film ini, harus berakting menjadi anak badung. Ke sekolah naik motor, tidak pakai helm pula (jaman dulu sekolah boleh bawa motor gak sih?), tergabung dalam geng motor dan merupakan panglima tempur. Itu lho, yang memimpin strategi tempur, kayaknya.

Setelah tragedi salah ramal, Piyan, teman satu geng Dilan, datang ke kelas Milea untuk menyampaikan surat yang ditulis Dilan—tetapi Piyan tidak mengatakan dari siapa surat itu dibuat. Hal tersebut terjadi ketika Nandan dan Rani menanyakan kesetujuan Milea untuk menjadi sekretaris kelas.

Nandan yang merupakan ketua kelas di kelas Milea, berkesempatan besar untuk mendekati Milea. Mulai dari menyusun denah tempat duduk sampai makan bersama di kantin sekolah.

Esok harinya, ketika Milea mencuci sepatu, Dilan datang bersama Piyan. Memberikan undangan, tetapi menyuruhnya untuk membacanya nanti. Isi undangan tersebut adalah mengundang Milea untuk datang ke sekolah di hari Senin sampai Sabtu. Dilampirkan pula nama Hamid Amidjaya, sang kepala sekolah.

Sampai di situ, Milea belum mengetahui nama Dilan.

Milea sendiri sebenarnya memiliki pacar di Jakarta, Beni namanya, yang diperankan oleh Brandon Salim. Dilan membuatkan sajak romantis buatannya sendiri, tetapi Beni membuatkan sajak romantis mencontek dari lagu ataupun puisi karya orang lain dari majalah.

Ketika upacara bendera, Milea baru mengetahui nama dari cowok yang dari kemarin mengirimkannya surat.
Dilan.
Ketika Dilan dan dua temannya diseret oleh Suripto, guru BP, karena tidak mengikuti upacara.

Dilan rela pulang sekolah naik angkot demi bersama Milea.
“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore,”
Sejak itu, Dilan mulai mencintai Milea.

Suatu ketika, Dilan datang ke kelas Milea dan duduk di sampingnya. Meminta secarik kertas kemudian menuliskan lima nama orang yang menyukai Milea. Semua nama ditulis kecuali dirinya.

Hari demi hari, Dilan semakin gencar mendekati Milea. Bermodal nekat, tidak nekat juga sih karena mungkin karakter Dilan di sini adalah pemberani. Berbeda dengan Milea yang menurut saya tidak berkarakter, hem lebih kayak mengalir mengikuti plot cerita.

Rasa suka Milea mulai terbaca oleh Beni ketika cowok itu datang bersama teman-temannya ke rumah Milea untuk memberikan kejutan ulang tahun. Saya sempat ingin tertawa melihat dandanan Beni saat itu. Kemeja polos lengan panjang, celana jeans, dan rambut klimis. Lupa kalau ternyata latar filmnya 1990.

Nandan turut memberikan kado yakni boneka beruang besar yang katanya supaya bisa Milea peluk. Sedangkan orang yang ditunggu-tunggu Milea hanya memberikan buku teka-teki silang, yang covernya bergambarkan perempuan Jepang yang ditambahkan kumis dan jenggot di wajahnya kemudian terdapat bullets di sampingnya yang seolah menyampaikan pesan bahwa Dilan mengucapkan ulang tahun. Semua lembar teka-teki silang sudah diisi dengan Dilan, saat membolak-balik halaman, ada secarik kertas yang terjatuh.

Selamat uLAng tahun, Milea.
Ini hadiah untukmu, cuma tts.
Tapi sudah kuisi semua.
Aku sayang kamu
Aku tidak mau kamu pusing
karena harus mengisinya.

Setelahnya, alur cerita berjalan manis di antara Milea dan Dilan.
Datang waktunya Milea bertemu dengan Beni di Jakarta tepatnya di stasiun televisi TVRI sebagai tim pendukung sekolahnya dalam lomba cerdas cermat. Beni mendapati Milea sedang makan berdua dengan Nandan, padahal sebelumnya ada seorang temannya yang pamit ke toilet. Tetapi karena Beni pencemburu dan bersumbu pendek, ia marah dan berujung pada berakhirnya kisah cinta mereka.

Film mendekati waktu berakhir, tetapi saya belum juga menemukan titik klimaksnya. Apakah ketika Beni marah dan putus dengan Milea? Milea ingkar janji kepada Dilan untuk tidak pergi dengan Kang Adi? Sumpah, saya bukan orang satu-satunya yang bilang begitu. Saya beberapa kali melihat jam, memastikan bahwa film akan segera berakhir tetapi kok belum ‘dapet’. Akhirnya aku minta spoiler sama temen berhubung dia sudah baca novelnya.

Jadi di Dilan 1990 ini, mereka jadian. Pada 22 Desember 1990, di depan warung Bi Eem. Setelahnya, film habis. Tetapi bukan ending, karena masih ada Dilan 1991 dan Milea 199x (asli tidak tahu karena belum baca novelnya).

Keseluruhan, alurnya menyenangkan. Karena Dilan adalah sosok yang sangat mampu menghibur, mengingat beberapa kali kami tertawa terbahak-bahak satu teater. Meskipun sekali lagi, saya tidak menangkap adanya klimaks di sini. Mungkin karena ini ceritanya masih panjang, jadi klimaks bukan di bagian yang ini, mungkin di Dilan 1991 atau di Milea.

Chemistry di antara keduanya sangat kuat, senang lihatnya, meskipun yang cowok awalnya tidak diharapkan oleh banyak orang, tapi saya senang-senang saja.

Latar 1990, saya tidak tahu seperti apa. Saya sendiri lahir tahun 1998, mungkin satu tahun setelah Milea menikah. Tetapi dilihat dari rumah-rumah yang digunakan, settingannya cukup menjanjikan untuk memberi latar tahun tersebut. Kalau gedung sekolah, terlihat jelas itu bangunan lama. Menurut saya, biasanya kan kalau film lawas settingannya agak diberi efek vintage atau yang gelap-gelap gitu. Tetapi efek tersebut tidak nampak di film ini. Hanya saja ada telepon umum, motor CB100 yang digunakan Dilan dan motor jadul yang dibawa anggota geng motor, gaya berseragam murid, dan mobil-mobil yang sering terlihat di kamera terutama mobil yang digunakan Bunda Dilan dapat memberikan gambaran bahwa barang-barang tersebut berada di tahun 90an.

Dilan, bagi saya tidak buruk-buruk amat. Mungkin jabatan panglima tempur geng motor dan hobinya yang suka berantem yang mencoreng sifat baiknya. Menurut saya, dia cerdas. Kamarnya penuh dengan buku-buku dan ia juga dipilih menjadi salah satu peserta lomba cerdas cermat. Keberaniannya, mungkin jaman sekarang dikatakan kurang ajar. Ingat di saat Dilan mengambil barisan di samping Milea saat upacara bendera dan ditarik oleh Suripto. Yo, guys, jaman SMP, saya sangat sering melakukan hal tersebut, dan beruntungnya guru-guru tidak begitu peduli dengan anak-anaknya yang pikun ini.

“Siapapun dia, kalau tidak bisa menghargai orang lain, tidak akan dihargai,”
“Guru itu digugu dan ditiru,”

Aku langsung sedih, teringat ayahanda.
Mana ada murid yang berani mencaci gurunya pengecut? Hanya di film ini.

Ini pelajaran untuk kita semua, baik sebagai sosok murid ataupun guru. Amalkan selalu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Terlepas dari itu, hargailah orang lain kalau ingin dihargai. Semua dimulai dari diri sendiri.
#MulaiAjaDulu

Lah iklan.
Ia juga pandai dalam menyikapi cewek. Tidak seperti Anhar, yang dalam scene, sempat menampar Milea di warung Bi Eem dan mengakibatkan adu jotos dengan Dilan setelahnya.

Di dalam film ini juga melibatkan ahjussi ganteng yang seantero Bandung tahu, Bapak Ridwan Kamil. Pembuatan skenario film juga dibimbing langsung oleh ayah Pidi Baiq.

Saya senang pokoknya. Iya, soalnya saya suka-suka aja sama hal yang menye-menye kayak gini, sekadar untuk menghilangkan bosan. Lebih baik nonton film yang bisa buat ketawa daripada buat mikir, terutama di bioskop. Saya juga senang kalo dispoilerin, hahaha. Makanya ketika saya heran mikirin klimaks dan endingnya gimana, saya tanya teman yang sudah baca novelnya.

Ayo, nonton. Ajak semua keluarga kamu, teman, sahabat, dan lain-lain, tapi jangan ajak mantan, ya. Nanti kamu sedih, tragis, kalau kisah kamu sama kayak Dilan dan Milea di penghujung buku (iya, yang ini juga dikasih tahu sama teman).
Teman saya yang spoilerin itu, juga nonton bersama mantannya (iya dong, kan kami satu kumpulan hahaha). Di rumah, dia bilang sama saya, “Coba tadi aku buat instastory, tulis deh “Dia Dilanku 2011”

Kita tidak beda, Fa, saya sama pusingnya di tengah-tengah film membayangkan wajah Dilan yang memang mirip seseorang. Nyatanya ia pernah dipanggil dengan sebutan nama asli pemain Dilan saat ia SMA. 
Iya, sudah, begitu saja kok.

Terima kasih Dilan, telah membawa Bandung kembali untuk malam ini.

Prau 2565 1/2

Hallo. Selamat pagi menjelang siang. Ditulis dalam keadaan isolasi mandiri, terhitung sudah hari ke-enam dan sudah bingung mau apa. Sesung...