Duka Tanah Air
Tanah
Surga… Katanya merupakan film drama Indonesia yang bertemakan nasionalisme, yang
dipersembahkan sebagai hadiah untuk Negara Indonesia pada ulang tahun yang
ke-67. Film yang disutradarai oleh Herwin Novianto ini menceritakan tentang
keadaan masyarakat Indonesia di daerah perbatasan antara Indonesia dengan
Malaysia yang terletak di Pulau Kalimantan. Herwin Novianto dilengkapi oleh
beberapa orang lainnya, yaitu Danial Rifki sebagai penulis skenario, serta Deddy
Mizwar, Gatot Brajamusti, dan Bustal Nawawi sebagai produser.
Dilahirkan
dari rumah produksi Citra Sinema, film ini berhasil menyertakan diri dalam
Festival Film Indonesia tahun 2012, dan menyabet beberapa penghargaan, yaitu,
Sutradara Terbaik (Herwin Novianto), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Fuad
Idris), Tata Artistik Terbaik (Ezra Tampubolon), Tata Musik Terbaik (Thoersi
Argeswara), dan Cerita Asli Terbaik (Danial Rifki). Film yang berdurasi 90
menit (1 jam 30 menit) ini membawakan latar tempat di Kalimantan Barat (perbatasan
Malaysia Serawak-Kalimantan Barat). Pemeran dalam film ini diantaranya Osa Aji
Santosa (Salman), Fuad Idris (Kakek Hasyim), Tissa Biani Azzahra (Salina), dan
Ence Bagus (Haris).
Setelah
wafatnya istri tercinta, Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia
tahun 1965, memutuskan untuk tidak menikah lagi. Ia tinggal bersama anak
semata-wayangnya yang menduda serta kedua cucunya; Salman dan Salina. Namun,
anak semata-wayangnya, Haris, memilih untuk berdagang di Malaysia dan sesekali
pulang menjenguk keluarga. Mereka hidup di sebuah desa terpencil di Kalimantan
Barat yang berdekatan dengan Malaysia, dekatnya jarak antara keduanya
memberikan masalah hidup bagi mereka, keterbelakangan pendidikan, ekonomi,
serta pembangunan. Dari keterbelakangan tersebut, masyarakat Kalimantan
beropini bahwa kehidupan di Malaysia lebih terjamin dibandingkan di Indonesia.
Akibatnya, banyak masyarakat Kalimantan yang memutuskan untuk meneruskan hidup
di Malaysia.
Dari
masa lalunya sebagai pejuang Indonesia, Kakek Hasyim sering membagi kisahnya
kepada Salman dan Salina. Ia bercerita bagaimana kejamnya Malaysia mencampakkan
Indonesia, menginjak-injak sang saka merah putih, dan hal lainnya. Salman dan
Salina sesungguhnya masih tergolong dini
untuk mengerti hal semacam itu, tetapi melalui Kakek dan sekolahnya,
mereka belajar untuk mencintai tanah air. Keduanya masih menduduki bangku
Sekolah Dasar, Salman kelas 4 dan Salina kelas 3. Mereka bersekolah di
satu-satunya sekolah di desa tersebut, yang pernah hampir rubuh karena ‘libur’ selama
satu tahun, yang hanya memiliki satu guru, dan hanya memiliki satu ruang kelas
yang disekat menjadi dua bagian. Ibu Astuti, guru sekolah dasar dari kota—yang
tanpa direncanakan-- datang ke desa tersebut sebagai penebar benih-benih ilmu. Suatu
hari, Ibu Astuti memberikan pekerjaan rumah kepada murid-muridnya untuk
menggambar bendera pusaka Indonesia. Dari sekian banyak murid kelas 3, hanya
Salina yang menggambar dengan benar. Persegi panjang yang bagian atasnya
berwarna merah dan bagian bawahnya berwarna putih.
Haris,
sang Ayah pulang ke kampung halamannya di Kalimantan. Kepulangannya ke rumah
bukan semata melepas rindu kepada keluarganya, melainkan juga niatan untuk
memboyong Salman, Salina dan Kakek Hasyim pindah ke Malaysia. Haris beranggapan
bahwa Malaysia adalah negeri yang makmur, jadi apabila mereka tinggal di sana,
kehidupan mereka akan jauh lebih sejahtera dibandingkan tinggal di Kalimantan,
ia juga ingin membawa Kakek Hasyim untuk berobat di rumah sakit Malaysia. Ajakan
Haris ditolak mentah-mentah oleh Kakek Hasyim, yang mana sangat membenci
Malaysia. Persoalan pun memuncak ketika Haris menceritakan bawa ia telah
menikah dengan wanita Malaysia. Sang Kakek pun bersikeras tidak ingin pindah ke
Malaysia, baginya kesetiaan terhadap bangsa adalah harga mati. Salman yang
dekat dengan Kakek Hasyim pun memilih tinggal bersama Kakeknya. Akhirnya, Haris
pindah ke Malaysia hanya dengan membawa Salina.
Berselang
dari kepindahan Salina, datang seorang dokter dari Bandung untuk menggantikan
dokter Rukma, yang bertugas di desa tersebut dan meninggal dunia. Kehadiran
dokter Anwar di desa tersebut amatlah membantu masyarakat, terutama bagi Kakek
Hasyim yang menderita kelainan jantung. Dokter Anwar berusaha menjalankan
tugasnya dengan memberikan perawatan dan obat yang lebih rutin. Namun karena
keterbatasan perlengkapan dan obat, dokter Anwar mengatakan bahwa Kakek Hasyim
harus mendapatkan perawatan yang lebih baik di rumah sakit kota. Karena untuk
memenuhi hal tersebut, Salman membanting-tulang setiap hari. Mulai dari bolos
sekolah, dan memanfaatkan waktu libur untuk bekerja, sampai uangnya terkumpul
untuk menyembuhkan Sang Kakek.
Di
tengah cerita, datanglah orang-orang dari Dinas Pendidikan, yang berniat untuk
membantu pembangunan sekolah tersebut. Maka dari itu, Pak Gani meminta Ibu
Astuti untuk melatih anak didiknya demi menyambut orang dari Dinas Pendidikan.
Disambut oleh tarian anak-anak yang menarik perhatian, Kepala Dinas pun berniat
untuk mendatangkan guru dan sarana seni ke sekolah tersebut. Tetapi, setelah
Salman tampil dengan puisinya—yang berisi sindiran kepada para petinggi
negara—Kepala Dinas pun membatalkan untuk membantu.
Salman
terus bekerja, demi uang untuk kepulihan Kakeknya. Ia bekerja menyetor
souvenir dari Kalimantan ke Malaysia, begitu setiap harinya. Apabila dahulu ia
hanya bisa mendengar dari cerita Kakeknya, maka saat ini ia bisa melihatnya
dengan mata kepalanya sendiri. Bendera merah putih yang dijadikan alas
berjualan, yang dijadikan penutup barang jualan. Sekali waktu, Salman menghampiri
pemuda yang menutup barang jualannya dengan bendera merah putih, kemudian ia
menukar bendera tersebut dengan sarung yang ia beli.
Akhirnya
uang Salman terkumpul, Kakek Hasyim pun dibawa ke rumah sakit oleh dokter
Anwar, Ibu Astuti, dan Salman. Mereka menempuh perjalanan menggunakan perahu,
alat transportasi andalan di Kalimantan. Di tengah perjalanan, mesin perahu
rusak dan terpaksa perjalanan pun melambat karena hanya memanfaatkan tenaga
yang dialirkan
kepada dayung, saat itu pula kondisi Kakek Hasyim semakin melemah.
Di
lain sisi, Haris dan Salina datang ke sebuah kedai. Salina menunggu Ayahnya di
luar dengan melakukan hobinya, menggambar, sedangkan Haris bergabung bersama
yang lainnya di dalam kedai tersebut untuk menyaksikan pertandingan bola antara
Indonesia dan Malaysia. Suasana di kedai tersebut begitu ramai, penuh
hingar-bingar, sampai pada saat yang dinanti, kebahagiaan pun menghiasi wajah
mereka, karena tim Malaysia berhasil mengalahkan tim Indonesia. Dan bersamaan
dengan pekik dan sorak kemenangan Haris, Kakek Hasyim menghembuskan nafasnya
untuk yang terakhir kalinya. Meninggalkan Salman yang berjuang untuk
menjaganya, meninggalkan anak semata-wayangnya yang pergi tanpa peduli apa yang
akan terjadi pada Ayahnya, meninggalkan tanah air yang selama ini ia jaga, dan
ia cintai sepenuh hatinya. Salman mengabari Ayahnya melalui telepon,
kebahagiaan Haris yang sebelumnya memuncak pun kini tergantikan dengan sebuah
rasa penyesalan yang amat mendasar di lubuk hatinya.
‘Gantungnya’
jalan cerita sedikit mengurangi keindahan film ini, dan penempatan
konflik-konflik yang terlalu awal, sehingga untuk mengetahui konflik utamanya
pun sedikit membingungkan. Tetapi, alur yang sangat rapi dan teratur dapat
menutupi kekurangan dari film ini. Ditambah dengan aroma komedi, film ini layak
ditonton untuk semua kalangan usia. Pengangkatan tema pun sangat bagus, karena
di zaman modern ini, masyarakat terlalu bertumpu kepada kehidupan metropolit,
sedangkan film ini membahas tentang kehidupan di perbatasan, yang mana jarang
sekali orang ingin memperhatikannya. Film ini juga mengungkapkan keluh-kesah
sebagian masyarakat pinggiran yang merasa terabaikan, baik dalam segi ekonomi,
pendidikan, teknologi dan pembangunan.
Ada
banyak nilai moral yang bisa kita tarik dari film ini. Diantaranya, masih
kurangnya kepedulian dari pemerintah terhadap masyarakat yang hidup di pelosok,
yang begitu membutuhkan pendidikan, ekonomi, dan pembangunan yang sama dengan
kehidupan di kota. Satu yang terpenting yang harus kita tanam dalam diri
kita masing-masing, yaitu nasionalime. Kita harus terus belajar untuk mencintai
tanah air, melindungi negara dari serangan-serangan sekecil atau sebesar apapun
itu, dan selalu mengingat untuk menolong sesama.
Indonesia
bukan hanya aku, kamu, atau dia. Tetapi Indonesia adalah Kita.
*mendekati ending film*
“Lah lari lagi”
“Itu bukannya yang tadi?”
“Iya yang tadi”
“Orang cuma diulang”
“Udah?”
“Lah?”
“Lah udahan?”
“Kok abis?”
“Yah parah banget abis”
“!@#$%^&&*()(&*^)+}{“
“Yaudah nonton lagi dari awal aja”
“Cape”
Duka juga nontonnya. Durasinya emang
sebentar banget. Tapi greget juga nulisnya, sedih juga nulisnya, berasa juga
jadi Salman-nya. LAH.
Ayo coba belajar betah-betahin belajar PKn,
belajar mencintai Indonesia. Kalian, mencintai ‘doi’ aja bisa, masa mencintai
Indonesia ga bisa. JRENG. Semakin aneh.
Sama seperti yang lalu, saya terima nikah
dan kawinnya komentar berupa kritik, dan saran dari kalian semua. Mungkin
bagi kalian kritik dan saran tidak ada harganya, tapi bagi saya itu sangat
berharga. Berharga melebihi 400 ringgit. Semakin aneh seperti Pak Dusun.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat
bagi yang membaca. Sekian review bonus guyonan dari saya. Ga guyon, cuma nyoba
guyon tapi gagal.
Selamat Malam, Wassalamualaikum.
Source: