March 20, 2015

Duka Tanah Air





Duka Tanah Air


Tanah Surga… Katanya merupakan film drama Indonesia yang bertemakan nasionalisme, yang dipersembahkan sebagai hadiah untuk Negara Indonesia pada ulang tahun yang ke-67. Film yang disutradarai oleh Herwin Novianto ini menceritakan tentang keadaan masyarakat Indonesia di daerah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia yang terletak di Pulau Kalimantan. Herwin Novianto dilengkapi oleh beberapa orang lainnya, yaitu Danial Rifki sebagai penulis skenario, serta Deddy Mizwar, Gatot Brajamusti, dan Bustal Nawawi sebagai produser.
 


Dilahirkan dari rumah produksi Citra Sinema, film ini berhasil menyertakan diri dalam Festival Film Indonesia tahun 2012, dan menyabet beberapa penghargaan, yaitu, Sutradara Terbaik (Herwin Novianto), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Fuad Idris), Tata Artistik Terbaik (Ezra Tampubolon), Tata Musik Terbaik (Thoersi Argeswara), dan Cerita Asli Terbaik (Danial Rifki). Film yang berdurasi 90 menit (1 jam 30 menit) ini membawakan latar tempat di Kalimantan Barat (perbatasan Malaysia Serawak-Kalimantan Barat). Pemeran dalam film ini diantaranya Osa Aji Santosa (Salman), Fuad Idris (Kakek Hasyim), Tissa Biani Azzahra (Salina), dan Ence Bagus (Haris).

Setelah wafatnya istri tercinta, Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965, memutuskan untuk tidak menikah lagi. Ia tinggal bersama anak semata-wayangnya yang menduda serta kedua cucunya; Salman dan Salina. Namun, anak semata-wayangnya, Haris, memilih untuk berdagang di Malaysia dan sesekali pulang menjenguk keluarga. Mereka hidup di sebuah desa terpencil di Kalimantan Barat yang berdekatan dengan Malaysia, dekatnya jarak antara keduanya memberikan masalah hidup bagi mereka, keterbelakangan pendidikan, ekonomi, serta pembangunan. Dari keterbelakangan tersebut, masyarakat Kalimantan beropini bahwa kehidupan di Malaysia lebih terjamin dibandingkan di Indonesia. Akibatnya, banyak masyarakat Kalimantan yang memutuskan untuk meneruskan hidup di Malaysia. 


Dari masa lalunya sebagai pejuang Indonesia, Kakek Hasyim sering membagi kisahnya kepada Salman dan Salina. Ia bercerita bagaimana kejamnya Malaysia mencampakkan Indonesia, menginjak-injak sang saka merah putih, dan hal lainnya. Salman dan Salina sesungguhnya masih tergolong dini  untuk mengerti hal semacam itu, tetapi melalui Kakek dan sekolahnya, mereka belajar untuk mencintai tanah air. Keduanya masih menduduki bangku Sekolah Dasar, Salman kelas 4 dan Salina kelas 3. Mereka bersekolah di satu-satunya sekolah di desa tersebut, yang pernah hampir rubuh karena ‘libur’ selama satu tahun, yang hanya memiliki satu guru, dan hanya memiliki satu ruang kelas yang disekat menjadi dua bagian. Ibu Astuti, guru sekolah dasar dari kota—yang tanpa direncanakan-- datang ke desa tersebut sebagai penebar benih-benih ilmu. Suatu hari, Ibu Astuti memberikan pekerjaan rumah kepada murid-muridnya untuk menggambar bendera pusaka Indonesia. Dari sekian banyak murid kelas 3, hanya Salina yang menggambar dengan benar. Persegi panjang yang bagian atasnya berwarna merah dan bagian bawahnya berwarna putih.

Haris, sang Ayah pulang ke kampung halamannya di Kalimantan. Kepulangannya ke rumah bukan semata melepas rindu kepada keluarganya, melainkan juga niatan untuk memboyong Salman, Salina dan Kakek Hasyim pindah ke Malaysia. Haris beranggapan bahwa Malaysia adalah negeri yang makmur, jadi apabila mereka tinggal di sana, kehidupan mereka akan jauh lebih sejahtera dibandingkan tinggal di Kalimantan, ia juga ingin membawa Kakek Hasyim untuk berobat di rumah sakit Malaysia. Ajakan Haris ditolak mentah-mentah oleh Kakek Hasyim, yang mana sangat membenci Malaysia. Persoalan pun memuncak ketika Haris menceritakan bawa ia telah menikah dengan wanita Malaysia. Sang Kakek pun bersikeras tidak ingin pindah ke Malaysia, baginya kesetiaan terhadap bangsa adalah harga mati. Salman yang dekat dengan Kakek Hasyim pun memilih tinggal bersama Kakeknya. Akhirnya, Haris pindah ke Malaysia hanya dengan membawa Salina.

Berselang dari kepindahan Salina, datang seorang dokter dari Bandung untuk menggantikan dokter Rukma, yang bertugas di desa tersebut dan meninggal dunia. Kehadiran dokter Anwar di desa tersebut amatlah membantu masyarakat, terutama bagi Kakek Hasyim yang menderita kelainan jantung. Dokter Anwar berusaha menjalankan tugasnya dengan memberikan perawatan dan obat yang lebih rutin. Namun karena keterbatasan perlengkapan dan obat, dokter Anwar mengatakan bahwa Kakek Hasyim harus mendapatkan perawatan yang lebih baik di rumah sakit kota. Karena untuk memenuhi hal tersebut, Salman membanting-tulang setiap hari. Mulai dari bolos sekolah, dan memanfaatkan waktu libur untuk bekerja, sampai uangnya terkumpul untuk menyembuhkan Sang Kakek.


Di tengah cerita, datanglah orang-orang dari Dinas Pendidikan, yang berniat untuk membantu pembangunan sekolah tersebut. Maka dari itu, Pak Gani meminta Ibu Astuti untuk melatih anak didiknya demi menyambut orang dari Dinas Pendidikan. Disambut oleh tarian anak-anak yang menarik perhatian, Kepala Dinas pun berniat untuk mendatangkan guru dan sarana seni ke sekolah tersebut. Tetapi, setelah Salman tampil dengan puisinya—yang berisi sindiran kepada para petinggi negara—Kepala Dinas pun membatalkan untuk membantu.

Salman terus bekerja, demi uang untuk kepulihan Kakeknya. Ia bekerja menyetor souvenir dari Kalimantan ke Malaysia, begitu setiap harinya. Apabila dahulu ia hanya bisa mendengar dari cerita Kakeknya, maka saat ini ia bisa melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Bendera merah putih yang dijadikan alas berjualan, yang dijadikan penutup barang jualan. Sekali waktu, Salman menghampiri pemuda yang menutup barang jualannya dengan bendera merah putih, kemudian ia menukar bendera tersebut dengan sarung yang ia beli.

Akhirnya uang Salman terkumpul, Kakek Hasyim pun dibawa ke rumah sakit oleh dokter Anwar, Ibu Astuti, dan Salman. Mereka menempuh perjalanan menggunakan perahu, alat transportasi andalan di Kalimantan. Di tengah perjalanan, mesin perahu rusak dan terpaksa perjalanan pun melambat karena hanya memanfaatkan tenaga yang dialirkan kepada dayung, saat itu pula kondisi Kakek Hasyim semakin melemah. 


Di lain sisi, Haris dan Salina datang ke sebuah kedai. Salina menunggu Ayahnya di luar dengan melakukan hobinya, menggambar, sedangkan Haris bergabung bersama yang lainnya di dalam kedai tersebut untuk menyaksikan pertandingan bola antara Indonesia dan Malaysia. Suasana di kedai tersebut begitu ramai, penuh hingar-bingar, sampai pada saat yang dinanti, kebahagiaan pun menghiasi wajah mereka, karena tim Malaysia berhasil mengalahkan tim Indonesia. Dan bersamaan dengan pekik dan sorak kemenangan Haris, Kakek Hasyim menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kalinya. Meninggalkan Salman yang berjuang untuk menjaganya, meninggalkan anak semata-wayangnya yang pergi tanpa peduli apa yang akan terjadi pada Ayahnya, meninggalkan tanah air yang selama ini ia jaga, dan ia cintai sepenuh hatinya. Salman mengabari Ayahnya melalui telepon, kebahagiaan Haris yang sebelumnya memuncak pun kini tergantikan dengan sebuah rasa penyesalan yang amat mendasar di lubuk hatinya.

‘Gantungnya’ jalan cerita sedikit mengurangi keindahan film ini, dan penempatan konflik-konflik yang terlalu awal, sehingga untuk mengetahui konflik utamanya pun sedikit membingungkan. Tetapi, alur yang sangat rapi dan teratur dapat menutupi kekurangan dari film ini. Ditambah dengan aroma komedi, film ini layak ditonton untuk semua kalangan usia. Pengangkatan tema pun sangat bagus, karena di zaman modern ini, masyarakat terlalu bertumpu kepada kehidupan metropolit, sedangkan film ini membahas tentang kehidupan di perbatasan, yang mana jarang sekali orang ingin memperhatikannya. Film ini juga mengungkapkan keluh-kesah sebagian masyarakat pinggiran yang merasa terabaikan, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, teknologi dan pembangunan.  

Ada banyak nilai moral yang bisa kita tarik dari film ini. Diantaranya, masih kurangnya kepedulian dari pemerintah terhadap masyarakat yang hidup di pelosok, yang begitu membutuhkan pendidikan, ekonomi, dan pembangunan yang sama dengan kehidupan di kota. Satu yang terpenting yang harus kita tanam dalam diri kita masing-masing, yaitu nasionalime. Kita harus terus belajar untuk mencintai tanah air, melindungi negara dari serangan-serangan sekecil atau sebesar apapun itu, dan selalu mengingat untuk menolong sesama.  
Indonesia bukan hanya aku, kamu, atau dia. Tetapi Indonesia adalah Kita. 




*mendekati ending film*
“Lah lari lagi”
“Itu bukannya yang tadi?”
“Iya yang tadi”
“Orang cuma diulang”
“Udah?”
“Lah?”
“Lah udahan?”
“Kok abis?”
“Yah parah banget abis”
“!@#$%^&&*()(&*^)+}{“
“Yaudah nonton lagi dari awal aja”
“Cape”
 
Duka juga nontonnya. Durasinya emang sebentar banget. Tapi greget juga nulisnya, sedih juga nulisnya, berasa juga jadi Salman-nya. LAH.
Ayo coba belajar betah-betahin belajar PKn, belajar mencintai Indonesia. Kalian, mencintai ‘doi’ aja bisa, masa mencintai Indonesia ga bisa. JRENG. Semakin aneh.
Sama seperti yang lalu, saya terima nikah dan kawinnya komentar berupa kritik, dan saran dari kalian semua. Mungkin bagi kalian kritik dan saran tidak ada harganya, tapi bagi saya itu sangat berharga. Berharga melebihi 400 ringgit. Semakin aneh seperti Pak Dusun.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membaca. Sekian review bonus guyonan dari saya. Ga guyon, cuma nyoba guyon tapi gagal.
Selamat Malam, Wassalamualaikum.

Source:

Prau 2565 1/2

Hallo. Selamat pagi menjelang siang. Ditulis dalam keadaan isolasi mandiri, terhitung sudah hari ke-enam dan sudah bingung mau apa. Sesung...