April 12, 2021

Short Escape #Jog


“If you lost someone you love, remember the good times.

If you have someone’s who’s unwell, take care of them and make sure you do your best, the rest is upto God.

If all of you are fine, then appreciate each other more.

 

Time heals everything and everyone,”

 

---

Akhir dari minggat ini mengisahkan kesedihan. Saya pulang diantar ke Terminal Wates oleh keluarga kecil Mas saya, yang berarti ada istri dan kedua anaknya.

 

“Sebaik apapun caramu berpamitan, perpisahan akan tetap menyakitkan.”

Juga kata The Script, “Where’s the good in goodbye?”

 

Lebay, ya. Padahal cuma ke Jakarta, numpang di Jogja juga gak lama. Tapi jadi inget dua keponakan saya yang sempat nangis waktu ninggalin rumah Jogja pas pulang Desember lalu. Hm, umur mereka baru 7 dan 3 tahun waktu itu.

 

Saya duduk di kursi nomor dua, karena biasanya kursi paling depan bus itu spacenya lebih luas. Kebetulan partner duduk untuk satu malam itu, seorang ibu—yang sedang sibuk bertelepon ria.

 

Setengah jam kemudian, bus berangkat. Ibu di sampingku memutuskan sambungan teleponnya, yang, saya bisa tebak dari siapa. Kami mengobrol sedikit tentang asal, tempat tinggal, serta tujuan berhenti. Kemudian saya terlelap.

 

Tetapi lalu terbangun saat lagu Tanpa Batas Waktu original soundtrack sinetron yang masih naik daun hingga kini, mengalun dari speaker bus.  Ibu di samping saya bernyanyi ria, suaranya tidak buruk, dan untungnya cukup percaya diri.

 

Kami mulai mengobrol lagi, kali ini tentang alasan kepulangannya ke tanah kelahiran. Beliau tinggal di sebuah desa dekat Glagah—ya yang dekat bandar udara baru itu lho.

“Saya nganterin bapak saya, kasihan dia di kampung sendirian. Ya saudara sih ada, cuma kan ya gak melulu ngurusin bapak saya. Daripada saya merepotkan juga, mending saya bawa ke Jakarta. Ikut sama saya,”

 

Ibunya berpulang pada Juni tahun lalu. Dimana covid-19 sedang tinggi-tingginya. Membutuhkan perawatan intensif di RSUD Wates, sampai kemudian harus dipindah ke RSUP Sardjito demi mendapatkan perawatan dan peralatan yang lebih lengkap.

 

Dari ketiga bersaudara, hanya ibu di samping saya ini yang jumpalitan bolak-balik Jakarta-Jogja. Dua saudaranya tinggal di Surabaya dan berprofesi sebagai angkatan—yang mana tidak selalu mudah untuk mendapatkan izin.

 

“Jadi mau harga bus waktu itu sampai harga berapapun, saya tetap pulang Mba. Bagusnya setiap bulan di kantor saya ada swab, jadi ya tidak keluar banyak biaya. Kan lumayan kalau harga di luar, ya, Mba.”

Mengingat harga tiket bus yang menyentuh Rp500.000 dan harga untuk swab saat itu masih sekitar 1 juta.

 

Lumayan ada yang mengganjal di tenggorokan.

 

“Tapi ya gimana, Mba. Saya udah bolak-balik terus, hubungi dokter meskipun saya gak di tempat, saya juga udah minta dokter buat lakuin yang terbaik, tapi mungkin udah jalannya Ibu.”

 

Kamera tolong kamera.

 

Sejak kepergian istrinya, sang suami sering melamun. Kalau dulu sering mengurus sawah, tetapi karena sudah teramat sepuh, akhirnya diminta anaknya untuk di rumah saja.

“Saya bawa ke Jakarta Mba, karena ya begitu bapak. Ngelamun aja di rumah, sendirian juga. Kayak nggak ada semangat hidup. Ya gimana namanya ditinggal istrinya,”

 

HWEEEE.

Langsung teringat emak bapak di rumah, yang juga mulai memasuki usia senja.

Dengan semua pikiran-pikiran kecil setiap kali mengantar mereka ke rumah sakit, atau menggantikan antri obat hingga larut jam 12 malam, kadang mau menyalahi takdir atau mau marahin diri sendiri sambil menyesal “Sometimes I wish I could treat you both better.”

 

Tidak melulu sedih, jam sebelas malam kami terdampar di macetnya Brebes, beliau bercerita tentang kedua anaknya. Anak pertama, sedang dirumahkan karena pengurangan karyawan di kantornya, sedangkan yang kedua, polisi—satu tahun lebih tua di atas saya, lumayan nih, tapi ternyata sudah punya kekasih hati. Jarang pulang karena jabatannya sebagai waduw saya lupa, mirip-mirip yang suka mata-mata dan grebek-grebek gitu. Tapi Ibunya bukan bilang sebagai intel, entah, lupa.

 

“Saya setiap Sabtu atau weekend gitu sering saya masakin kesukaan dia, tapi gak kemakan-makan karena pulangnya suka nggak jelas. Sampe Mas-nya bosen karena tiap akhir minggu saya masak itu terus.”

 

Jadi inget jaman ngekos dulu, “Kamu pulang kapan? Mama masak cumi,”

Tetep ada bumbu sedihnya, meski gak seberapa. Maaf nih, melankolis banget.

 

Tapi aslinya sih ya enggak, karena ada cerita yang tidak diceritakan.

Gelap banget, banget, soalnya saya sambil tidur. Meski kadang tidur ayam juga, tapi sambil mikir ternyata yang banyak orang-orang perbincangkan, bisa nyata juga dan bisa saya dengar sendiri. Lalu, semua cerita saya di atas tadi yang mematahkan hal ini.

 

Ndak usah ditebak, yee siapa juga yang mau nebak.

 

 

Esok harinya di kantor, biasanya office girl bagian lab kami sudah menyapu. Saya panggil teteh, karena beliau sempat keberatan kalau dipanggil Ibu. Hihi. Satu minggu lalu, ia tidak masuk. Sama, ibunya kembali pada Sang Pemilik.

 

Biasanya, saya menjadi orang pertama yang akan buka pintu lab.

Biasanya pula, begitu pintu terbuka, saya akan menaruh botol minum di meja pantry lalu beliau dengan senyumnya meski terhalang masker, dengan sukacita dan suara penuh nada riang menyambut saya dengan “Pagi Neng,”

 

Pagi itu, ia hanya menoleh begitu mendengar saya membuka meja pantry. Mengangguk sebentar lalu kembali menyapu.

 

Kamu bukan kamu yang dulu.

 

Setengah jam berlalu, bel berbunyi. Saya kembali masuk ke lab, sedangkan Teteh menyapu ruang instrumen. Mengucapkan belasungkawa dengan suara bergetar, begitu juga dengan beliau yang lalu memeluk kuat gagang pel lantai. Mau peluk, tapi 180o dari tempat kami berdiri, ada manajer saya di ruangannya.

 

Masih saya ingat beberapa jajanan dan parfum yang dititipkan lewat saya. Juga cerita beliau pulang ke Bekasi untuk merawat Ibunya. Kebetulan waktu itu beliau tinggal di Bogor. Nah, kalau ke Bekasi, kan, jauh. Belum lagi Teteh masuk kerjanya jam tujuh. Engap bayangin Bekasi-Bogor kejar pakai commuter line.

 

Ya, begitulah.

“I think the hardest part of losing someone, isn’t having to say goodbye, but rather learning to live without them.”

Indeed we belong to Allah, and indeed to Him we will return.

 

Terakhir,

Jaga dia yang saat ini bersamamu. Karena akan ada masanya untuk saling meninggalkan dan ditinggalkan.

 

Da ah, pegel.

April 11, 2021

Short Escape #Jog


Jam sembilan tepat WITN, Waktu Indonesia bagian Titik Nol.

Pwanase ngentang-ngentang.

 

Karena jarak dari penginapan—Snooze, menuju titik nol tidak begitu jauh, saya memutuskan untuk berjalan kaki sampai BNI. Dulu, kalau naik bus Jalur 15 ya nunggunya di depan BNI. Lima belas menit, belum juga ada muncul satupun mereka. Panasnya makin geser.

 

“Pak, kulo ajeng ten Gamping, niki tesih wonten bus jalur 15 mboten nggeh?”

“Wah, wis suwe mboten enten e mbak. Sampeyan numpak Transjogja mawon, niku saking Vredeburg.”

“Oalah, pantes kok mboten wonten sing lewat.”

“Ha iyo, wis ket suwe. Jurusan Jogja Gamping niku to?”

“Nggeh, Pak. Matur suwun nggeh Pak,”

 

Tas isinya drill semua ini, kerasa beratnya. Tadinya mau duduk-duduk lucu dulu di kursi-kursi coklat itu, tapi ya ngapain ya. Sendirian, bawaannya banyak. Boro-boro dapet temen whahaha.

 

Transjogja rute ke Gamping, Jalur 10. Langka. Kalau kepepet, atau malas menunggu dia terlalu lama, bisa naik Jalur 6 menuju Ngabean, nanti transit dulu. Tiket untuk satu orang dikenakan biaya sebesar Rp2.700 untuk pembayaran menggunakan e-money, dan Rp3.500 kalau menggunakan uang cash.

Lima puluh menit kemudian, jalur 10 datang. Beruntung tidak terlalu banyak penumpang di dalamnya. Di seperempat hari menuju siang itu, saya berpindah dari halte ke bus bersama tiga orang nenek-nenek dengan gembolan kain besar yang mereka panggul. Tampak akrab dengan kondektur, mereka sempat berbincang sebentar kemudian memutuskan untuk tidur.

 

Perlu waktu lima puluh menit untuk menunggu kedatangannya, tapi perjalanan menuju Gamping hanya dua puluh delapan menit.

Penumpang turun di halte Gamping, halte terakhir.

“Bu, kulo ajeng numpak bus ten Wates niki medale pundi nggeh?”

“Ayo melu aku” samar tapi terdengar.

“Niku mbak, tutke mawon mbah-mbah niku”

 

Akhirnya ada satu nenek, ya—menggendong kain besar di belakang punggungnya yang sudah bungkuk, menunggu saya di jalan keluar halte.

“Mangke numpak bus sing cilik iku, mbayare luwih murah, 5000, nek Mulyo kae bus gedhe kae, yo rodo larang. Aku jarang numpak Mulyo, soale penuh.”

“Oh nggeh Mbah,”

“Putuku ra gelem nek dijak nek numpak kongene,”

 

Hidup ini penuh penantian.

Dan percayalah, aku hebat dalam hal menanti.

 

Mana ada, bohong besar.

Maaf salah server.

 

Lima belas menit menunggu bus menuju Wates, biasanya namanya Kukup, Menoreh, dan yang lain yang mohon maaf saya tidak ingat. Kami menunggu di tepi jalan di depan gerobak pecel ayam, tidak jauh dari halte Transjogja Gamping. Dari Gamping menuju Wates kurang lebih Rp8.000, atau tergantung seberapa besar keberuntungan kita saat ditanya turun dimana oleh supir atau kondektur.

 

Jadi, selama perjalanan. Mbah-mbah tadi beberapa ada yang melanjutkan tidur, ada yang tidak. Saya tidak tahu awalnya, mereka ini apakah baru berbelanja atau apa. Lambat laun, saya paham ternyata mereka berjualan, atau juga menjadi kuli gendong di Malioboro atau Beringharjo.

 

Malu, ya jelas lah.

Kain gembolannya serius yang besar banget gitu. Jadi kalau mereka duduk di kursi penumpang, kain-kain itu ditaruh di tempat yang tidak ada kursinya. Kalau soal usia, saya tidak bisa tebak berapa, karena banyak sekali yang sudah renta tapi masih terlihat bugar.

 

Sesungguhnya ini boost buat diri sendiri, sih.

Masa yang muda kalah.

Terlepas dari apapun alasan para Mbah masih bekerja, atau terkaan saya tentang mengapa mereka masih bekerja, saya takjub dan haru dalam satu waktu.

 

Semoga panjang umur dan sehat selalu untuk saya dan kamu yang sedang baca postingan ini, untuk para Mbah kuli gendong, dan untuk semua yang menjadi tulang punggung keluarga. Bahu kita semua kuat dan lebar.

 

Sampai jumpa di selanjutnya.

April 07, 2021

Short Escape #Jog


Dini hari kaki sampai bunderan Gedongtengen, ngedeprok di depan samsat. Padahal jelas arahnya salah, ya kan. Harusnya saya dari stasiun belok kiri lewatin NEO, saya malah ke kanan. Sebenernya ya bisa aja kalau mau lanjut jalan, tapi napas udah satu-dua, dahlah gak usah maksa. Udah panas juga ini dada. Mana masih sepi banget jalanan.

 

Pukul enam kurang sedikit, saya melintas di Alun-alun Utara menuju Wijilan. Masih tergolong sepi, hanya ada beberapa orang yang gowes sepeda.

06.15 saya sampai di depan hostel, tepatnya di teras rumah warga yang berhadapan langsung dengan hostel yang sudah saya pesan. Sepi, lagi. Ada dua anak kecil bermain dengan kucingnya.

“Lho, nunggu apa Mbak?”

“Itu Bu, nunggu Snooze. Belum buka sih, tapi saya sudah whatsapp staffnya kok Bu.”

“Oh gitu, coba tak celuk Pak Rudi sek yo.”

 

Lalu datanglah bapak yang dimaksud Pak Rudi, beliau membukakan kunci gerbang depan dan membuka pintu utama Snooze.

“Duduk dulu aja ya Mba. Mba Talitha belum datang, sebentar lagi paling. Ngobrol dulu aja itu ada temannya.”

 

Saya duduk di sofa yang berhadapan dengan meja resepsionis. Sebelah kiri saya, ada laki-laki yang sibuk dengan ponselnya yang diputar horizontal.

“Masnya, pengunjung juga?”

“Iya Mba, Mbanya mau nginep?”

Oh, kirain staf sini.

 

Ia sudah hampir satu minggu di sini, menginap mulai Senin dan hari itu hari Kamis. Berdua dengan temannya, yang sepertinya belum bangun. Bertukar cerita tentang sudah kemana saja ia berlibur di sini, tujuan saya dan tujuan mereka, asal mereka dan saya. Sampai dipertemukan dengan, “Lho, Jakarta selatannya mana Mas?”

“Jagakarsa Mba,”

Tambah excited karena mengetahui hal yang sama. Ia pernah bekerja di Jagakarsa, beberapa tahun silam. Lalu membahas pekerjaan kami.

 

Obrolan mengalir deras sampai pintu depan terbuka kembali oleh bapak muda dengan membawa dua botol air mineral ukuran satu setengah liter.

“Lho, ada tamu. Baru datang semalam atau kapan Mba?”

“Barusan, Pak. Tadi pagi,” jawab saya yang kemudian direspon dengan wajahnya yang heran.

“Barusan, Pak. Barusan banget,” Jawab si Mas yang masih miring ponselnya.

“Oalah, mau minum apa Mba? Saya buatin atau kalau mau buat sendiri ya monggo monggo,”

 

Ruang tamu Snooze dipenuhi dengan tanaman-tanaman di sepanjang dinding bagian atas. Jadi untuk menyiramnya membutuhkan ondo—tangga lipat besi dan botol air mineral sebagai penampung air.

“Mas, sampeyan tak usulke pindah mawon. Iku lho, cerak Mba e, mangke ndak kesiram.”

 

Ada tiga blok sofa di ruang tamu. Satu yang menghadap meja resepsionis, dan dua di kanan kiri pintu utama. Tembok bercat putih ini terkesan ramai karena tanaman-tanaman di sekelilingnya, dan di dekat pintu tengah menuju kantin juga ada lukisan tangan ilustrasi kopi.

 



“Kerja apa kuliah Mba?” Tanya si Bapak yang bergerak menyiram menuju tanaman di atas meja resepsionis.

Saya tertawa. “Masih muda berarti saya ya Pak.”

 

Obrolan masih bergulir, kali ini yang ternyata teman laki-laki saya ini menambahkan bahwa dirinya dulu sekolah farmasi. “Aku mantan farmasi, Mba. Tapi nggak tak lanjut. Ada lah, biasa. Urusan rumah, aku anak broken home.”

Meski memang banyak yang banting setir dari sekolah apa dan kerjanya apa, tetapi mendengar secara langsung hingga alasan-alasan di baliknya, saya geter dikit. Kemudian paham bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti apa yang kita gariskan. Everything happens for a reason, whether it’s bad or good.

 

Kami membahas sedikit tentang makna lambang farmasi. Bowl of Hygieia. Analoginya, mangkuk itu dikenal dengan mangkuk Hygieia—dewi kesehatan dari mitologi Yunani. Sedangkan ular melambangkan pasien yang bisa memilih apakah akan mengambil obat dari mangkuk itu atau tidak. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang mengendalikan kesehatannya sendiri melalui pilihan yang diambil, yang kemudian kami bertiga intisarikan dengan, “obat kalau kebanyakan ya jadi racun.”

 

Obrolan berangsur menghilang setelah datangnya Mba Talitha. Sedikit banyak pertanyaan darinya berputar seperti yang sudah-sudah. Kenyataan bahwa saya belum bisa check-in, karena ya memang belum jamnya tetapi sebenarnya kalau kamar sudah kosong, kita bisa masuk.

Kebetulan saat itu, saya memesan kamar dengan tipe private room—untuk satu orang dan kebetulan baru ada satu kamar. Jadi, dia the one and only. Juga orang yang memesan belum check-out.

 

Untuk pemesanan kamar Snooze ini mudah sekali, saya menemukan penginapan ini dari thread di twitter. Sebenarnya, sangat banyak sekali penginapan dengan harga-harga miring di jantung jogja. Tetapi mengingat ini libur yang sedikit panjang, jadi rata-rata sudah banyak kamar yang booked. Saya memesan lewat Traveloka dengan harga Rp100.000 dan biaya asuransi Rp18.000 (untuk refund). Kemudian saat itu saya langsung dihubungi oleh Mba Talitha, ia menjelaskan banyak sekali tentang Snooze—aturan memesan dan menginap dan fasilitas dijelaskan secara lengkap dan detail.




Saya akhirnya memilih untuk menyewa sepeda, kebetulan Snooze membuka penyewaan sepeda. Ada tiga sepeda onthel, ada yang berkeranjang yang duh saya nggak tau gimana jelasinnya, ada juga yang MTB. Lima belas ribu rupiah untuk tiga jam penyewaan. Saya pilih yang MTB, karena, ya Tuhan kasihan ban si onthel kalau harus ngangkat saya. 

 

Makan bubur di stand samping Gudeg Yu Djum Wijilan 30, alias di Kampung Pandean. Empat belas ribu, itu sudah dengan sate telor puyuh dan usus. Baru saya pelanggan pagi itu, dan entah kenapa juga saya pilihnya bubur di antara deretan nasi gudeg ini. 

 

“Panganane ki ra sepiro e Pak, mung yo tempate ning pinggir saben, nggirli—pinggir kali. Regane yo larang. Nah sing didol ki pemandanganne, view e, dudu panganane.” 

 

Saya duduk kurang lebih jarak empat meter dengan bapak dan ibu yang menjual bubur, yang bergerak pindah mendekat ke gerobak dibanding ke saya. Huhu.

 

Bubur ini not bad, untuk di kota yang bukan penghasil bubur—lah?! Maksudnya, biasanya kalau bubur di Jawa gini tuh isiannya sering nggak lengkap. Bicara harga, sama dengan yang biasanya saya makan kok, mengingat seringnya saya kena tuthuk kalau lagi jajan.

 

Saya gowes pagi itu masih pake kemeja dan celana drilloutfit kerja sehari-hari, ditambah alas kaki yang saat itu flipflop. Plus, belum mandi. Apa gak rusak itu sandal, tapi yaudah, orang nggak bawa sandal lagi. Namanya juga cari pelarian, tiba-tiba.


Sebelum gowes tadi, Mba Talitha cukup khawatir. Takut saya jatuh, sampai-sampai saya harus latihan muter komplek dulu, baru akhirnya keluar. Remnya bunyi, bunyi kenceng banget. “Mba, nanti kalau kenapa-napa, whatsapp aja nomor yang kemarin yaa. Hati-hati di jalan,”

 

Sesungguhnya saya nggak tau ini di mana dan saya mau ke mana, jadi saya jalan aja. Mbuntut di belakang orang-orang yang juga gowes. Tamansari, Alun-alun Selatan, sampai akhirnya saya keluar di Mantrijeron. Apa ini di mana ini, mana baterai ponsel tinggal 35%, dan sempet-sempetnya saya nyalain Strava.

Emang nggak ada ancang-ancang, tau-tau pesen sepeda aja gitu karena bingung juga mau baca buku, bukunya nggak ada yang ‘aku gitu’, mau check-in ya belum bisa, kalau duduk mulu nanti kasihan Mba Talitha merasa terganggu, jadi aku pergi saja.

 

Makanya mendekat SMA Muh 3, kaki udah mulai cenat-cenut. Bener aja, pas lewatin lampu merah, kram betis kanan. Wah ini mantep banget kalau sampe jatuh. Akhirnya, sok-sokan berhenti dan ngelurusin kaki.

 

Astaga, lampu merah.

Ramai, dan saya lagi nahan sakit tanpa bilang ke orang yang di sekitar situ. Asli, saya mau loncat juga nggak bisa, karena pasti jatuh. Ya yaiyalah. Jadi, saya lama-lamain ngelurusin kaki, sambil diurut sedikit-sedikit tapi kok ya nggak ilang-ilang tho.

 

Belok di entahlah itu Jalan Werkudoro atau Antasena, yang jelas saya mau motong jalan yang nggak lewatin lampu merah besar lagi. Pas masuk jalanannya, alamak, turunan curam lalu ada sungai, yang kemudian ternyata itu tembus di Serangan. Inget kan remnya bunyi kenceng banget, dan kaki masih agak pincang. Daripada cari penyakit, mending putar balik saja kan. Jujur dada udah panas, napas udah makin pendek, tapi ya lebih baik jalan terus..

 

Sampai di Snooze, dikabari bahwa saya sudah boleh masuk kamar tapi diminta untuk menunggu sebentar sembari kamar dibersihkan. Saya dibuatkan teh oleh Mbak Shanty—eh gimana ya tulisannya.

Tepar, saya duduk di Zen room ditemani buku arsitektur—mau sok tau aja jadi pilih itu, dan segelas teh manis hangat.

Sampai kamar siap pun, barang saya dibawakan oleh Mbak Talitha dan Mba Shanty. Pusing, baik banget sih. Padahal aku sehat-sehat aja ini lho. 

 

Setelah itu, saya diajak room tour oleh Mbak Talitha. Sudah ada beberapa pengunjung yang sudah bangun, termasuk teman si Mas tadi pagi. Memiliki empat tipe kamar; private (single) room, double room, budget room, dan dormitory (kebetulan sedang maintenance jadi tidak bisa dipakai), di bangunan utama terdapat dapur, kantin, dua toilet, dan dua kamar mandi shower. Di bangunan kedua, ada taman, tiga kamar mandi bershower dan dua toilet. Saya lupa jelasnya, tapi yang jelas untuk urusan mandi tidak akan antre.

Mohon maaf untuk tidak sempat mendokumentasikan setiap kamarnya karena hari itu sedang full booked. Untuk informasi lebih lanjut bisa langsung kunjungi akun instagramnya @snooze.yogyakarta.










Tak berdaya, setelah mandi yang tentu saja keramas karena keringat membanjiri seluruh lapisan tubuh, saya tidur-tiduran di kamar. 


Private room tusuk sate dari pintu masuk, dekat dengan ruang makan, dapur, dan kamar mandi.

Di dalamnya, ada kipas angin, satu tempat tidur untuk satu orang, tiga hanger, tempat sampah, hit elektrik pengusir nyamuk, dan cermin besar.  Tetapi private room tidak memiliki jendela seperti kamar-kamar tipe lainnya.

Oiya, Snooze adalah youth hostel  jadi hanya menerima tamu >17 tahun, sehingga tidak mengakomodasi anak-anak. Selama COVID-19, tidak menyediakan sarapan jadi kita bisa masak sendiri atau jajan di kantin Snooze.

Jam check in yaitu jam dua siang, dan untuk check out maksimal jam setengah dua belas siang. Lebihnya bisa dibuka di website atau di instagram Snooze (2).

Rasanya beneran kayak di rumah, kayak punya kakak-kakak baru. Beneran, sesantai dan seseru itu. Ngeluyur aja kemana-mana di dalem rumah. “Mbak, kalau butuh temen ngobrol, dateng aja ke depan atau kemana lah, nanti kita ngerumpi.”

 

Sempat bertanya siapa pemilik Snooze, ternyata sejoli di VW merah! Saya sempat melihat mereka, waktu itu di lampu merah Gamping. Volkswagen Merah cabai, platnya khas banget, dan ada stiker serta bendera kecil Mata Arah di pintunya. Sempat saya abadikan, tapi entah hilang di mana fotonya. Pemiliknya Mbak Jess dari Prancis, yang bersuamikan Mas Issei, pasangan ini sempat viral di media sosial.

 

Jogja memang beberapa waktu lalu sempat hujan es di daerah tertentu, seperti Sleman dan Parangtritis. Siang itu langit mendung sekali, saya mau keluar pun malas dan ragu. Meski akhirnya tetap keluar di pukul empat, itupun hanya langsung ke Progo untuk membeli piring kayu. Pulangnya beli dawet dan sate ayam di bawah jembatan Bringharjo. Pas berangkat kok ya nggak nyium sate kere, tau-tau pulang kecium bau asepnya.

 

Depan Vredeburg dijaga oleh beberapa petugas Satpol PP, Malioboro tetap ramai seperti biasanya. Hanya hatiku yang sepi. Lho. Mau mampir angkringan, ya masih terlalu dini alias mau berapa lama? Ya sudah akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke Snooze.

 

Makan di ruang makan, dengan Mas Novan yang lagi sibuk hitung mie instan di dapur. Larut malam, terdengar beberapa kali Mba Shanty ataupun Mba Iva menjelaskan bagian-bagian dari Snooze, sepertinya ada beberapa tamu yang baru datang.

 

Hujan turun dengan deras, bagus saya sudah keluar sejak tadi sore. Udara di luar cukup dingin, sehingga saya merasa tidak perlu untuk menghidupkan kipas angin. Ruangan diatur dengan pencahayaan langsung dari langit, sehingga kalau siang ya tidak begitu perlu untuk menyalakan lampu karena sudah terang, dan kalau malam, yah mengertilah. Pendar cahaya dari ruang makan yang kebetulan ada di depan kamar saya juga cukup menerangi kamar.

 

Esok paginya, Mas yang kemarin pagi menyambut saya di ruang tamu, tak terlihat jejaknya di ruang tamu. Saya membuat sarapan dan duduk di kantin, di depan lukisan besar orang utan. Lalu berkeliling sendiri selagi Snooze masih sepi. Tentram banget, sayang cuma satu hari.

Pukul sembilan saya memutuskan untuk pamit lewat Mbak Shanty, sedih, tapi saya harus pindah tempat nih.

“Nanti kalau mampir Jogja, mampir sini aja Mbak. Nggak apa-apa nggak nginep, nongkrong aja kita ngopi-ngopi ngobrol. Hati-hati ya Mbaak!” dilepas sampai depan gerbang Snooze, saya jalan kaki seperti yang saya lakukan kemarin pagi. Mampir sebentar di Gudeg Yu Djum 30 dan sempat bertukar salam dengan Pak Bubur kemarin pagi.

--

 

“Mbak, boleh minta passwordnya?”

 

Mereka bilang Snooze is home, nyatanya memang rumah. Dalam artian sesungguhnya dan dalam artian lainnya. Jadi kalau kamu mau iseng cari tempat singah, atau rumah kedua ketiga keempatmu, coba mampir Snooze sekali-kali. Dijamin nggak nyesel. Dapet referensi rumah baru, dapet keluarga baru, dapet cerita baru, dapet pengalaman baru. Nggak akan rugi, ya wong temenku pagi itu aja sampai extend seminggu. Gimana nggak betah judulnya?!

Makasih banyak, Snooze dan segala di dalamnya. Termasuk si Tuan Cio.

Till we see again.

Prau 2565 1/2

Hallo. Selamat pagi menjelang siang. Ditulis dalam keadaan isolasi mandiri, terhitung sudah hari ke-enam dan sudah bingung mau apa. Sesung...