Dini hari kaki sampai bunderan
Gedongtengen, ngedeprok di depan samsat. Padahal jelas arahnya salah, ya kan.
Harusnya saya dari stasiun belok kiri lewatin NEO, saya malah ke kanan.
Sebenernya ya bisa aja kalau mau lanjut jalan, tapi napas udah satu-dua, dahlah
gak usah maksa. Udah panas juga ini dada. Mana masih sepi banget jalanan.
Pukul enam kurang sedikit, saya melintas
di Alun-alun Utara menuju Wijilan. Masih tergolong sepi, hanya ada beberapa
orang yang gowes sepeda.
06.15 saya sampai di depan hostel, tepatnya di teras rumah warga
yang berhadapan langsung dengan hostel yang sudah saya pesan. Sepi, lagi. Ada dua anak kecil bermain dengan kucingnya.
“Lho, nunggu apa Mbak?”
“Itu Bu, nunggu Snooze. Belum buka sih,
tapi saya sudah whatsapp staffnya kok
Bu.”
“Oh gitu, coba tak celuk Pak Rudi sek yo.”
Lalu datanglah bapak yang dimaksud Pak
Rudi, beliau membukakan kunci gerbang depan dan membuka pintu utama Snooze.
“Duduk dulu aja ya Mba. Mba Talitha belum
datang, sebentar lagi paling. Ngobrol dulu aja itu ada temannya.”
Saya duduk di sofa yang berhadapan dengan
meja resepsionis. Sebelah kiri saya, ada laki-laki yang sibuk dengan ponselnya
yang diputar horizontal.
“Masnya, pengunjung juga?”
“Iya Mba, Mbanya mau nginep?”
Oh, kirain staf sini.
Ia sudah hampir satu minggu di sini,
menginap mulai Senin dan hari itu hari Kamis. Berdua dengan temannya, yang
sepertinya belum bangun. Bertukar cerita tentang sudah kemana saja ia berlibur
di sini, tujuan saya dan tujuan mereka, asal mereka dan saya. Sampai
dipertemukan dengan, “Lho, Jakarta selatannya mana Mas?”
“Jagakarsa Mba,”
Tambah excited karena mengetahui hal yang sama. Ia pernah bekerja di
Jagakarsa, beberapa tahun silam. Lalu membahas pekerjaan kami.
Obrolan mengalir deras sampai pintu depan
terbuka kembali oleh bapak muda dengan membawa dua botol air mineral ukuran
satu setengah liter.
“Lho, ada tamu. Baru datang semalam atau
kapan Mba?”
“Barusan, Pak. Tadi pagi,” jawab saya
yang kemudian direspon dengan wajahnya yang heran.
“Barusan, Pak. Barusan banget,” Jawab si
Mas yang masih miring ponselnya.
“Oalah, mau minum apa Mba? Saya buatin
atau kalau mau buat sendiri ya monggo monggo,”
Ruang tamu Snooze dipenuhi dengan
tanaman-tanaman di sepanjang dinding bagian atas. Jadi untuk menyiramnya
membutuhkan ondo—tangga lipat besi dan botol air mineral sebagai penampung air.
“Mas,
sampeyan tak usulke pindah mawon. Iku lho, cerak Mba e, mangke ndak kesiram.”
Ada tiga blok sofa di ruang tamu. Satu
yang menghadap meja resepsionis, dan dua di kanan kiri pintu utama. Tembok
bercat putih ini terkesan ramai karena tanaman-tanaman di sekelilingnya, dan di
dekat pintu tengah menuju kantin juga ada lukisan tangan ilustrasi kopi.
“Kerja apa kuliah Mba?” Tanya si Bapak
yang bergerak menyiram menuju tanaman di atas meja resepsionis.
Saya tertawa. “Masih muda berarti saya ya
Pak.”
Obrolan masih bergulir, kali ini yang
ternyata teman laki-laki saya ini menambahkan bahwa dirinya dulu sekolah
farmasi. “Aku mantan farmasi, Mba. Tapi nggak tak lanjut. Ada lah, biasa.
Urusan rumah, aku anak broken home.”
Meski memang banyak yang banting setir
dari sekolah apa dan kerjanya apa, tetapi mendengar secara langsung hingga
alasan-alasan di baliknya, saya geter dikit. Kemudian paham bahwa hidup tidak
selalu berjalan seperti apa yang kita gariskan. Everything happens for a reason, whether it’s bad or good.
Kami membahas sedikit tentang makna
lambang farmasi. Bowl of Hygieia. Analoginya,
mangkuk itu dikenal dengan mangkuk Hygieia—dewi kesehatan dari mitologi Yunani.
Sedangkan ular melambangkan pasien yang bisa memilih apakah akan mengambil obat
dari mangkuk itu atau tidak. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang
mengendalikan kesehatannya sendiri melalui pilihan yang diambil, yang kemudian
kami bertiga intisarikan dengan, “obat kalau kebanyakan ya jadi racun.”
Obrolan berangsur menghilang setelah
datangnya Mba Talitha. Sedikit banyak pertanyaan darinya berputar seperti yang
sudah-sudah. Kenyataan bahwa saya belum bisa check-in, karena ya memang belum jamnya tetapi sebenarnya kalau
kamar sudah kosong, kita bisa masuk.
Kebetulan saat itu, saya memesan kamar
dengan tipe private room—untuk satu
orang dan kebetulan baru ada satu kamar. Jadi, dia the one and only. Juga orang yang memesan belum check-out.
Untuk pemesanan kamar Snooze ini mudah
sekali, saya menemukan penginapan ini dari thread
di twitter. Sebenarnya, sangat banyak sekali penginapan dengan
harga-harga miring di jantung jogja. Tetapi mengingat ini libur yang sedikit
panjang, jadi rata-rata sudah banyak kamar yang booked. Saya memesan lewat Traveloka
dengan harga Rp100.000 dan biaya asuransi Rp18.000 (untuk refund). Kemudian saat itu saya langsung dihubungi oleh Mba
Talitha, ia menjelaskan banyak sekali tentang Snooze—aturan memesan dan
menginap dan fasilitas dijelaskan secara lengkap dan detail.
Saya akhirnya memilih untuk menyewa
sepeda, kebetulan Snooze membuka penyewaan sepeda. Ada tiga sepeda onthel, ada
yang berkeranjang yang duh saya nggak tau gimana jelasinnya, ada juga yang MTB.
Lima belas ribu rupiah untuk tiga jam penyewaan. Saya pilih yang MTB, karena,
ya Tuhan kasihan ban si onthel kalau harus ngangkat saya.
Makan bubur di stand samping Gudeg Yu Djum Wijilan 30, alias di Kampung Pandean.
Empat belas ribu, itu sudah dengan sate telor puyuh dan usus. Baru saya pelanggan
pagi itu, dan entah kenapa juga saya pilihnya bubur di antara deretan nasi
gudeg ini.
“Panganane
ki ra sepiro e Pak, mung yo tempate ning pinggir saben, nggirli—pinggir kali.
Regane yo larang. Nah sing didol ki pemandanganne, view e, dudu panganane.”
Saya duduk kurang lebih jarak empat meter
dengan bapak dan ibu yang menjual bubur, yang bergerak pindah mendekat ke
gerobak dibanding ke saya. Huhu.
Bubur ini not bad, untuk di kota yang bukan penghasil bubur—lah?! Maksudnya,
biasanya kalau bubur di Jawa gini tuh isiannya sering nggak lengkap. Bicara
harga, sama dengan yang biasanya saya makan kok, mengingat seringnya saya kena tuthuk kalau lagi jajan.
Saya gowes pagi itu masih pake kemeja dan
celana drill—outfit kerja sehari-hari, ditambah alas kaki yang saat itu flipflop. Plus, belum mandi. Apa gak
rusak itu sandal, tapi yaudah, orang nggak bawa sandal lagi. Namanya juga cari
pelarian, tiba-tiba.
Sebelum gowes tadi, Mba Talitha cukup
khawatir. Takut saya jatuh, sampai-sampai saya harus latihan muter komplek
dulu, baru akhirnya keluar. Remnya bunyi, bunyi kenceng banget. “Mba, nanti
kalau kenapa-napa, whatsapp aja nomor
yang kemarin yaa. Hati-hati di jalan,”
Sesungguhnya saya nggak tau ini di mana
dan saya mau ke mana, jadi saya jalan aja. Mbuntut
di belakang orang-orang yang juga gowes. Tamansari, Alun-alun Selatan,
sampai akhirnya saya keluar di Mantrijeron. Apa ini di mana ini, mana baterai
ponsel tinggal 35%, dan sempet-sempetnya saya nyalain Strava.
Emang nggak ada ancang-ancang, tau-tau
pesen sepeda aja gitu karena bingung juga mau baca buku, bukunya nggak ada yang
‘aku gitu’, mau check-in ya belum
bisa, kalau duduk mulu nanti kasihan Mba Talitha merasa terganggu, jadi aku
pergi saja.
Makanya mendekat SMA Muh 3, kaki udah
mulai cenat-cenut. Bener aja, pas lewatin lampu merah, kram betis kanan. Wah
ini mantep banget kalau sampe jatuh. Akhirnya, sok-sokan berhenti dan
ngelurusin kaki.
Astaga, lampu merah.
Ramai, dan saya lagi nahan sakit tanpa
bilang ke orang yang di sekitar situ. Asli, saya mau loncat juga nggak bisa,
karena pasti jatuh. Ya yaiyalah. Jadi, saya lama-lamain ngelurusin kaki, sambil
diurut sedikit-sedikit tapi kok ya nggak ilang-ilang tho.
Belok di entahlah itu Jalan Werkudoro
atau Antasena, yang jelas saya mau motong jalan yang nggak lewatin lampu merah
besar lagi. Pas masuk jalanannya, alamak,
turunan curam lalu ada sungai, yang kemudian ternyata itu tembus di Serangan.
Inget kan remnya bunyi kenceng banget, dan kaki masih agak pincang. Daripada
cari penyakit, mending putar balik saja kan. Jujur dada udah panas, napas udah
makin pendek, tapi ya lebih baik jalan terus..
Sampai di Snooze, dikabari bahwa saya
sudah boleh masuk kamar tapi diminta untuk menunggu sebentar sembari kamar
dibersihkan. Saya dibuatkan teh oleh Mbak Shanty—eh gimana ya tulisannya.
Tepar, saya duduk di Zen room ditemani
buku arsitektur—mau sok tau aja jadi pilih itu, dan segelas teh manis hangat.
Sampai kamar siap pun, barang saya
dibawakan oleh Mbak Talitha dan Mba Shanty. Pusing, baik banget sih. Padahal
aku sehat-sehat aja ini lho.
Setelah itu, saya diajak room tour oleh Mbak Talitha. Sudah ada
beberapa pengunjung yang sudah bangun, termasuk teman si Mas tadi pagi.
Memiliki empat tipe kamar; private
(single) room, double room, budget room, dan dormitory (kebetulan sedang
maintenance jadi tidak bisa dipakai), di bangunan utama terdapat dapur, kantin,
dua toilet, dan dua kamar mandi shower.
Di bangunan kedua, ada taman, tiga kamar mandi bershower dan dua toilet. Saya lupa jelasnya, tapi yang jelas untuk
urusan mandi tidak akan antre.
Mohon maaf untuk tidak sempat
mendokumentasikan setiap kamarnya karena hari itu sedang full booked. Untuk informasi lebih lanjut bisa langsung kunjungi
akun instagramnya @snooze.yogyakarta.
Tak berdaya, setelah mandi yang tentu
saja keramas karena keringat membanjiri seluruh lapisan tubuh, saya
tidur-tiduran di kamar.
Private
room tusuk sate dari
pintu masuk, dekat dengan ruang makan, dapur, dan kamar mandi.
Di dalamnya, ada kipas angin, satu tempat
tidur untuk satu orang, tiga hanger, tempat
sampah, hit elektrik pengusir nyamuk, dan cermin besar. Tetapi private room tidak memiliki jendela
seperti kamar-kamar tipe lainnya.
Oiya, Snooze adalah youth hostel jadi hanya
menerima tamu >17 tahun, sehingga tidak mengakomodasi anak-anak. Selama
COVID-19, tidak menyediakan sarapan jadi kita bisa masak sendiri atau jajan di
kantin Snooze.
Jam check
in yaitu jam dua siang, dan untuk check
out maksimal jam setengah dua belas siang. Lebihnya bisa dibuka di website
atau di instagram Snooze (2).
Rasanya beneran kayak di rumah, kayak
punya kakak-kakak baru. Beneran, sesantai dan seseru itu. Ngeluyur aja
kemana-mana di dalem rumah. “Mbak, kalau butuh temen ngobrol, dateng aja ke
depan atau kemana lah, nanti kita ngerumpi.”
Sempat bertanya siapa pemilik Snooze,
ternyata sejoli di VW merah! Saya sempat melihat mereka, waktu itu di lampu
merah Gamping. Volkswagen Merah cabai, platnya khas banget, dan ada stiker
serta bendera kecil Mata Arah di pintunya. Sempat saya abadikan, tapi entah
hilang di mana fotonya. Pemiliknya Mbak Jess dari Prancis, yang bersuamikan Mas
Issei, pasangan ini sempat viral di media sosial.
Jogja memang beberapa waktu lalu sempat
hujan es di daerah tertentu, seperti Sleman dan Parangtritis. Siang itu langit
mendung sekali, saya mau keluar pun malas dan ragu. Meski akhirnya tetap keluar
di pukul empat, itupun hanya langsung ke Progo untuk membeli piring kayu.
Pulangnya beli dawet dan sate ayam di bawah jembatan Bringharjo. Pas berangkat
kok ya nggak nyium sate kere, tau-tau pulang kecium bau asepnya.
Depan Vredeburg dijaga oleh beberapa
petugas Satpol PP, Malioboro tetap ramai seperti biasanya. Hanya hatiku yang
sepi. Lho. Mau mampir angkringan, ya masih terlalu dini alias mau berapa lama?
Ya sudah akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke Snooze.
Makan di ruang makan, dengan Mas Novan
yang lagi sibuk hitung mie instan di dapur. Larut malam, terdengar beberapa
kali Mba Shanty ataupun Mba Iva menjelaskan bagian-bagian dari Snooze,
sepertinya ada beberapa tamu yang baru datang.
Hujan turun dengan deras, bagus saya
sudah keluar sejak tadi sore. Udara di luar cukup dingin, sehingga saya merasa
tidak perlu untuk menghidupkan kipas angin. Ruangan diatur dengan pencahayaan
langsung dari langit, sehingga kalau siang ya tidak begitu perlu untuk
menyalakan lampu karena sudah terang, dan kalau malam, yah mengertilah. Pendar
cahaya dari ruang makan yang kebetulan ada di depan kamar saya juga cukup
menerangi kamar.
Esok paginya, Mas yang kemarin pagi
menyambut saya di ruang tamu, tak terlihat jejaknya di ruang tamu. Saya membuat
sarapan dan duduk di kantin, di depan lukisan besar orang utan. Lalu
berkeliling sendiri selagi Snooze masih sepi. Tentram banget, sayang cuma satu
hari.
Pukul sembilan saya memutuskan untuk
pamit lewat Mbak Shanty, sedih, tapi saya harus pindah tempat nih.
“Nanti kalau mampir Jogja, mampir sini
aja Mbak. Nggak apa-apa nggak nginep, nongkrong aja kita ngopi-ngopi ngobrol.
Hati-hati ya Mbaak!” dilepas sampai depan gerbang Snooze, saya jalan kaki
seperti yang saya lakukan kemarin pagi. Mampir sebentar di Gudeg Yu Djum 30 dan
sempat bertukar salam dengan Pak Bubur kemarin pagi.
--
“Mbak, boleh minta passwordnya?”
Mereka bilang Snooze is home, nyatanya
memang rumah. Dalam artian sesungguhnya dan dalam artian lainnya. Jadi kalau
kamu mau iseng cari tempat singah, atau rumah kedua ketiga keempatmu, coba
mampir Snooze sekali-kali. Dijamin nggak nyesel. Dapet referensi rumah baru,
dapet keluarga baru, dapet cerita baru, dapet pengalaman baru. Nggak akan rugi,
ya wong temenku pagi itu aja sampai extend
seminggu. Gimana nggak betah judulnya?!
Makasih banyak, Snooze dan segala di
dalamnya. Termasuk si Tuan Cio.
Till
we see again.