“If you lost someone you love,
remember the good times.
If you have someone’s who’s unwell, take care of them and make sure you do your best, the rest is upto God.
If all of you are fine, then appreciate each other more.
Time heals everything and everyone,”
---
Akhir dari minggat ini mengisahkan kesedihan. Saya pulang diantar ke Terminal Wates oleh keluarga kecil Mas saya, yang berarti ada istri dan kedua anaknya.
“Sebaik apapun caramu berpamitan, perpisahan akan tetap menyakitkan.”
Juga kata The Script, “Where’s the good in goodbye?”
Lebay, ya. Padahal cuma ke Jakarta, numpang di Jogja juga gak lama. Tapi jadi inget dua keponakan saya yang sempat nangis waktu ninggalin rumah Jogja pas pulang Desember lalu. Hm, umur mereka baru 7 dan 3 tahun waktu itu.
Saya duduk di kursi nomor dua, karena biasanya kursi paling depan bus itu spacenya lebih luas. Kebetulan partner duduk untuk satu malam itu, seorang ibu—yang sedang sibuk bertelepon ria.
Setengah jam kemudian, bus berangkat. Ibu di sampingku memutuskan sambungan teleponnya, yang, saya bisa tebak dari siapa. Kami mengobrol sedikit tentang asal, tempat tinggal, serta tujuan berhenti. Kemudian saya terlelap.
Tetapi lalu terbangun saat lagu Tanpa Batas Waktu original soundtrack sinetron yang masih naik daun hingga kini, mengalun dari speaker bus. Ibu di samping saya bernyanyi ria, suaranya tidak buruk, dan untungnya cukup percaya diri.
Kami mulai mengobrol lagi, kali ini tentang alasan kepulangannya ke tanah kelahiran. Beliau tinggal di sebuah desa dekat Glagah—ya yang dekat bandar udara baru itu lho.
“Saya nganterin bapak saya, kasihan dia di kampung sendirian. Ya saudara sih ada, cuma kan ya gak melulu ngurusin bapak saya. Daripada saya merepotkan juga, mending saya bawa ke Jakarta. Ikut sama saya,”
Ibunya berpulang pada Juni tahun lalu. Dimana covid-19 sedang tinggi-tingginya. Membutuhkan perawatan intensif di RSUD Wates, sampai kemudian harus dipindah ke RSUP Sardjito demi mendapatkan perawatan dan peralatan yang lebih lengkap.
Dari ketiga bersaudara, hanya ibu di samping saya ini yang jumpalitan bolak-balik Jakarta-Jogja. Dua saudaranya tinggal di Surabaya dan berprofesi sebagai angkatan—yang mana tidak selalu mudah untuk mendapatkan izin.
“Jadi mau harga bus waktu itu sampai harga berapapun, saya tetap pulang Mba. Bagusnya setiap bulan di kantor saya ada swab, jadi ya tidak keluar banyak biaya. Kan lumayan kalau harga di luar, ya, Mba.”
Mengingat harga tiket bus yang menyentuh Rp500.000 dan harga untuk swab saat itu masih sekitar 1 juta.
Lumayan ada yang mengganjal di tenggorokan.
“Tapi ya gimana, Mba. Saya udah bolak-balik terus, hubungi dokter meskipun saya gak di tempat, saya juga udah minta dokter buat lakuin yang terbaik, tapi mungkin udah jalannya Ibu.”
Kamera tolong kamera.
Sejak kepergian istrinya, sang suami sering melamun. Kalau dulu sering mengurus sawah, tetapi karena sudah teramat sepuh, akhirnya diminta anaknya untuk di rumah saja.
“Saya bawa ke Jakarta Mba, karena ya begitu bapak. Ngelamun aja di rumah, sendirian juga. Kayak nggak ada semangat hidup. Ya gimana namanya ditinggal istrinya,”
HWEEEE.
Langsung teringat emak bapak di rumah, yang juga mulai memasuki usia senja.
Dengan semua pikiran-pikiran kecil setiap kali mengantar mereka ke rumah sakit, atau menggantikan antri obat hingga larut jam 12 malam, kadang mau menyalahi takdir atau mau marahin diri sendiri sambil menyesal “Sometimes I wish I could treat you both better.”
Tidak melulu sedih, jam sebelas malam kami terdampar di macetnya Brebes, beliau bercerita tentang kedua anaknya. Anak pertama, sedang dirumahkan karena pengurangan karyawan di kantornya, sedangkan yang kedua, polisi—satu tahun lebih tua di atas saya, lumayan nih, tapi ternyata sudah punya kekasih hati. Jarang pulang karena jabatannya sebagai waduw saya lupa, mirip-mirip yang suka mata-mata dan grebek-grebek gitu. Tapi Ibunya bukan bilang sebagai intel, entah, lupa.
“Saya setiap Sabtu atau weekend gitu sering saya masakin kesukaan dia, tapi gak kemakan-makan karena pulangnya suka nggak jelas. Sampe Mas-nya bosen karena tiap akhir minggu saya masak itu terus.”
Jadi inget jaman ngekos dulu, “Kamu pulang kapan? Mama masak cumi,”
Tetep ada bumbu sedihnya, meski gak seberapa. Maaf nih, melankolis banget.
Tapi aslinya sih ya enggak, karena ada cerita yang tidak diceritakan.
Gelap banget, banget, soalnya saya sambil tidur. Meski kadang tidur ayam juga, tapi sambil mikir ternyata yang banyak orang-orang perbincangkan, bisa nyata juga dan bisa saya dengar sendiri. Lalu, semua cerita saya di atas tadi yang mematahkan hal ini.
Ndak usah ditebak, yee siapa juga yang mau nebak.
Esok harinya di kantor, biasanya office girl bagian lab kami sudah menyapu. Saya panggil teteh, karena beliau sempat keberatan kalau dipanggil Ibu. Hihi. Satu minggu lalu, ia tidak masuk. Sama, ibunya kembali pada Sang Pemilik.
Biasanya, saya menjadi orang pertama yang akan buka pintu lab.
Biasanya pula, begitu pintu terbuka, saya akan menaruh botol minum di meja pantry lalu beliau dengan senyumnya meski terhalang masker, dengan sukacita dan suara penuh nada riang menyambut saya dengan “Pagi Neng,”
Pagi itu, ia hanya menoleh begitu mendengar saya membuka meja pantry. Mengangguk sebentar lalu kembali menyapu.
Kamu bukan kamu yang dulu.
Setengah jam berlalu, bel berbunyi. Saya kembali masuk ke lab, sedangkan Teteh menyapu ruang instrumen. Mengucapkan belasungkawa dengan suara bergetar, begitu juga dengan beliau yang lalu memeluk kuat gagang pel lantai. Mau peluk, tapi 180o dari tempat kami berdiri, ada manajer saya di ruangannya.
Masih saya ingat beberapa jajanan dan parfum yang dititipkan lewat saya. Juga cerita beliau pulang ke Bekasi untuk merawat Ibunya. Kebetulan waktu itu beliau tinggal di Bogor. Nah, kalau ke Bekasi, kan, jauh. Belum lagi Teteh masuk kerjanya jam tujuh. Engap bayangin Bekasi-Bogor kejar pakai commuter line.
Ya, begitulah.
“I think the hardest part of losing someone, isn’t having to say goodbye, but rather learning to live without them.”
Indeed we belong to Allah, and indeed to Him we will return.
Terakhir,
Jaga dia yang saat ini bersamamu. Karena akan ada masanya untuk saling meninggalkan dan ditinggalkan.
Da ah, pegel.
No comments:
Post a Comment