April 11, 2021

Short Escape #Jog


Jam sembilan tepat WITN, Waktu Indonesia bagian Titik Nol.

Pwanase ngentang-ngentang.

 

Karena jarak dari penginapan—Snooze, menuju titik nol tidak begitu jauh, saya memutuskan untuk berjalan kaki sampai BNI. Dulu, kalau naik bus Jalur 15 ya nunggunya di depan BNI. Lima belas menit, belum juga ada muncul satupun mereka. Panasnya makin geser.

 

“Pak, kulo ajeng ten Gamping, niki tesih wonten bus jalur 15 mboten nggeh?”

“Wah, wis suwe mboten enten e mbak. Sampeyan numpak Transjogja mawon, niku saking Vredeburg.”

“Oalah, pantes kok mboten wonten sing lewat.”

“Ha iyo, wis ket suwe. Jurusan Jogja Gamping niku to?”

“Nggeh, Pak. Matur suwun nggeh Pak,”

 

Tas isinya drill semua ini, kerasa beratnya. Tadinya mau duduk-duduk lucu dulu di kursi-kursi coklat itu, tapi ya ngapain ya. Sendirian, bawaannya banyak. Boro-boro dapet temen whahaha.

 

Transjogja rute ke Gamping, Jalur 10. Langka. Kalau kepepet, atau malas menunggu dia terlalu lama, bisa naik Jalur 6 menuju Ngabean, nanti transit dulu. Tiket untuk satu orang dikenakan biaya sebesar Rp2.700 untuk pembayaran menggunakan e-money, dan Rp3.500 kalau menggunakan uang cash.

Lima puluh menit kemudian, jalur 10 datang. Beruntung tidak terlalu banyak penumpang di dalamnya. Di seperempat hari menuju siang itu, saya berpindah dari halte ke bus bersama tiga orang nenek-nenek dengan gembolan kain besar yang mereka panggul. Tampak akrab dengan kondektur, mereka sempat berbincang sebentar kemudian memutuskan untuk tidur.

 

Perlu waktu lima puluh menit untuk menunggu kedatangannya, tapi perjalanan menuju Gamping hanya dua puluh delapan menit.

Penumpang turun di halte Gamping, halte terakhir.

“Bu, kulo ajeng numpak bus ten Wates niki medale pundi nggeh?”

“Ayo melu aku” samar tapi terdengar.

“Niku mbak, tutke mawon mbah-mbah niku”

 

Akhirnya ada satu nenek, ya—menggendong kain besar di belakang punggungnya yang sudah bungkuk, menunggu saya di jalan keluar halte.

“Mangke numpak bus sing cilik iku, mbayare luwih murah, 5000, nek Mulyo kae bus gedhe kae, yo rodo larang. Aku jarang numpak Mulyo, soale penuh.”

“Oh nggeh Mbah,”

“Putuku ra gelem nek dijak nek numpak kongene,”

 

Hidup ini penuh penantian.

Dan percayalah, aku hebat dalam hal menanti.

 

Mana ada, bohong besar.

Maaf salah server.

 

Lima belas menit menunggu bus menuju Wates, biasanya namanya Kukup, Menoreh, dan yang lain yang mohon maaf saya tidak ingat. Kami menunggu di tepi jalan di depan gerobak pecel ayam, tidak jauh dari halte Transjogja Gamping. Dari Gamping menuju Wates kurang lebih Rp8.000, atau tergantung seberapa besar keberuntungan kita saat ditanya turun dimana oleh supir atau kondektur.

 

Jadi, selama perjalanan. Mbah-mbah tadi beberapa ada yang melanjutkan tidur, ada yang tidak. Saya tidak tahu awalnya, mereka ini apakah baru berbelanja atau apa. Lambat laun, saya paham ternyata mereka berjualan, atau juga menjadi kuli gendong di Malioboro atau Beringharjo.

 

Malu, ya jelas lah.

Kain gembolannya serius yang besar banget gitu. Jadi kalau mereka duduk di kursi penumpang, kain-kain itu ditaruh di tempat yang tidak ada kursinya. Kalau soal usia, saya tidak bisa tebak berapa, karena banyak sekali yang sudah renta tapi masih terlihat bugar.

 

Sesungguhnya ini boost buat diri sendiri, sih.

Masa yang muda kalah.

Terlepas dari apapun alasan para Mbah masih bekerja, atau terkaan saya tentang mengapa mereka masih bekerja, saya takjub dan haru dalam satu waktu.

 

Semoga panjang umur dan sehat selalu untuk saya dan kamu yang sedang baca postingan ini, untuk para Mbah kuli gendong, dan untuk semua yang menjadi tulang punggung keluarga. Bahu kita semua kuat dan lebar.

 

Sampai jumpa di selanjutnya.

No comments:

Post a Comment

Prau 2565 1/2

Hallo. Selamat pagi menjelang siang. Ditulis dalam keadaan isolasi mandiri, terhitung sudah hari ke-enam dan sudah bingung mau apa. Sesung...