“Ya mau gimana Mbak. Dulu pernah sih, saya ajak istri saya ke Jakarta. Niatnya ya, mau saya ajak tinggal sekalian kerja di sini, tapi ya gitu, katanya panas. Jadi ya dia pulang lagi. Panase ki beda tho Mba? Panas banget gitu lho nek Jakarta ki.”
Obrolan perlahan mengalir dari kursi penumpang kereta api yang saya singgahi. Butuh beberapa waktu untuk memulai karena saya harus atur napas yang kebetulan satu-dua saat itu. Gerbong lima, kursi nomor 19A-B, lambat saya sadari bahwa formasi duduk penumpang diatur satu-dua, yang mana saat itu saya duduk berdua berarti seberang kanan dan depan saya duduk sendiri.
Basa-basi yang kerap terjadi di kursi transportasi umum seperti ini tidak jauh dari asal dan tujuan.
“Turun di mana Mas?”
“Yogya, Mbak. Mbanya?”
Kemudian, ditambahi dengan, “Mau pulang atau main Mba?”
Pertanyaan satu itu kemudian dijawab dengan tawa oleh saya karena keduanya adalah jawaban bagi saya.
Mataram premium, tidak sunyi seperti bayangan saya. Karena menurut jadwal, hanya sisa kereta ini dan Progo yang jam berangkatnya larut malam. Banyak suara-suara dari kursi lain, banyak pula tujuan mereka berada di atas kuda besi ini.
“Mau saya juga pindah sih Mba, cari yang lain gitu. Saya udah empat tahun di tempat ini. Tapi kondisi lagi kayak gini juga, ya susah. Ya yaudah lah,”
Hari itu, Rabu malam yang besok Kamisnya tanggal merah, maka tidak heran kenapa kereta ramai. Meskipun Jum’at tanggal kembali hitam, tidak sedikit yang merelakan untuk meloloskannya sebagai hari libur demi mencapai tujuan. Termasuk saya.
Samar saya dengan dari kursi serong kami, seorang laki-laki ingin mengunjungi pacarnya. Berniat bertemu orang tuanya, ceunah.
Kereta menjadi moda yang paling bisa diandalkan saya untuk saat ini, karena jam kerja yang tidak bisa dinegosiasi dan badan yang sudah tidak sanggup diajak negosiasi. Surat keterangan rapid adalah salah satu syarat untuk bisa lolos dalam checking ticket dan kereta tentu saja. Ha. Maka dengan segala kerontokan badan, jam lima teng saya yang biasanya tidak pernah tenggo, kali itu langsung ngibrit demi target “maghrib sudah harus di rumah sakit” meski nyatanya 18.24 saya baru masuk parkiran rumah sakit. Terkendala di bagian administrasi padahal saya sudah telepon admin rumah sakit sejak seminggu lalu, bahkan dua hari sebelum pengambilan sample saya masih telepon lagi untuk follow up.
18.51 petugas selesai istirahat, lima orang yang sejak tadi menunggu gelisah kini saling menegakkan kepala. Saya masuk bilik pengambilan sample, “ditunggu ya Mba, hasilnya kurang lebih satu jam”. Satu jam dari sekarang kurang lebih jam delapan, padahal seharusnya jam delapan saya sudah di rumah untuk lanjut berangkat menuju stasiun. Perut lapar, belum shalat maghrib pula. Mana mushollanya di lantai empat, Alhamdulillah boleh pake lift. Kebayang jadi ager-ager kalo nggak boleh pakai lift.
Jadi di sana, saya pasrah. Gak apa kalo memang jamnya nggak ngeburu untuk mengejar semua rencana hari ini, toh lumayan nyobain rapid antigen. Gak apa udah booking tiket dan hostel. Memang sudah begitu kodratnya, manusia boleh berencana, tetapi tetap Tuhan yang menentukan.
19.07 saya menyerahkan bukti pengambilan hasil ke petugas laboratorium, dan Alhamdulillah langsung diberikan. Tancap gas pulang ke rumah menembus horrornya kopasus di malam hari.
Setengah jam perjalanan, saya langsung mandi, sholat, dan mencaplok satu telor rebus. Lalu berangkat menuju stasiun diantar oleh kakak saya. Sengaja membuka G-Maps untuk cek ETA, 51 menit. Perih. Jalan raya TB. Simatupang sudah macet seperti sediakala, ditambah pertigaan Condet Balekambang nggak ada ampunnya.
Kereta saya berangkat pukul 21.10. Bagaimana nggak ketar-ketir sepanjang jalan, menebak-nebak sekaang pukul berapa atau akan ada macet dimana lagi. 20.55 saya sampai di depan pintu masuk, ngibrit ekstra mirip banteng. Karena boarding gate pasti sudah dibuka dari tadi. Lolos pengecekkan surat rapid, masih ada pengecekkan tiket, dan harus bersyukur tapi aduh juga.
“Pak, keretanya nyebrang ya?”
“Eh? Iya mba, turun ya lewat tangga”
Mantap, Son. Saya sprint.
Delapan jam tempuh perjalanan, kami mengobrol hanya di awal saja. Karena selanjutnya ada patroli biasa dari polsuska. Perlahan lampu di langit-langit gerbong mulai dimatikan, menyisakan LED putih satu garis kecil di tepi kanan dan kiri, suara-suara penumpang mulai menipis.
Tidur-bangun-tidur-bangun sepanjang perjalanan, face shield melorot, badan minta ganti posisi alias bangun dikit kek pegel banget nih. Hasil dari sprint dan banting-banting badan selama perjalanan Bogor-Jakarta baru kerasa malam itu. Mau geser ya nggak bisa, jadinya ya cuma bangun-bangun tipis.
05.07 kereta berhenti di Stasiun Tugu Yogyakarta. Saya sudah tidak ingat wajah dan suara Mas yang duduk di samping saya, padahal bisa bertukar salam perpisahan. Rencana menurut itinerary adalah, beli tiket commuter line menuju Maguwoharjo. Berhubung commuter linenya baru, sekalian nyobain. Apa daya, badan rentek banget-banget dan entah mengapa ransel baru sekarang terasa beratnya. Jadi, next time aja ya.
Semakin jauh kaki melangkah, semakin besar rindu untuk pulang ke rumah.
Selamat pulang.
No comments:
Post a Comment